Sadar atau tidak, bawah alam sadar kita bekerja sedemikian rumit saat kita terinfeksi virus tersebut, maka bayang-bayang kematian dikubur dengan protokol kesehatan saat terinfeksi adalah bayangan menakutkan.
Apalagi misalnya, lagi-lagi menurut temuan dari Litbang Kompas, bahwa mayoritas penduduk Indonesia banyak memperoleh informasi tentang Covid-19 dari media sosial daripada media lainnya.
Kita melihat bahwa banyak media sosial menampakkan orang-orang yang hanya ahli berpendapat. Bukan yang benar-benar ahli dalam corona.
Psikologi perempuan pascapandemi harus menjadi titik perhatian kita saat perhelatan pilkada harus dilaksanakan akhir 2020.
Kita tidak ingin melaksanakan pilkada hanya sebagai seremonial semata. Kita ingin demokrasi yang substansial. Kita berharap bahwa perempuan bisa berperan sebab jumlah pemilih dari perempuan lebih banyak daripada pemilih laki laki.
Oase Ramadhan dan kepemimpinan perempuan
Ramadhan kali ini sebenarnya menjadi ruang untuk meningkatkan kesalehan diri dan kesalehan sosial. Momentum untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Di tengah banyaknya kabar buruk tentang dunia hari ini, ada satu kabar baik tentang kempimpinan perempuan.
Liputan Forbes menunjukkan bahwa ada sejumlah negara yang dianggap berhasil melawan Covid-19. Yakni Jerman, Taiwan, Selandia Baru, dan Islandia. Negara-negara ini memiliki kesamaan: dipimpin oleh perempuan.
Kanselir Jerman, Angela Markel, melihat situasi corona secara serius dengan memanfaatkan teknologi. Markel langsung melakukan tes uji swab tiap hari sejak awal dengan massif untuk menekan penyebaran Covid-19.
Sebagaimana Jerman, Presiden Tsai In Wen dari Taiwan langsung mengeluarkan larangan perjalanan, mengendalikan alat produksi masker dengan ketersediaan 4 juta masker tiap hari, dan melawan hoaks yang menyebar.
Taiwan berhasil menekan kematian di wilayahnya yang hanya berjarak 130 kilometer dari China.
Pelajaran penting dari negara-negara tersebut adalah bahwa kempimpinan perempuan mampu menyelesaikan sejumlah persoalan rumit yang kini dihadapi penduduk dunia.
Tentu saja, kita berharap bahwa di Indonesia, kelompok perempuan dapat menyucikan demokrasi yang terancam kotor oleh oknum yang menyerahkan bantuan kemanusiaan tetapi digunakan untuk melakukan kampanye terselubung. Perempuan harus menolak diam.
Tidak ada demokrasi tanpa perempuan, demikian kata Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo. Perempuan harus berpartisipasi dan mengawasi jalannya demokrasi.
Karena kerentanan perempuan tidak hanya saat pilkada saja, tetapi juga saat pascapemilihan dan munculnya kebijakan publik. Catatan Komisi Nasional Perempuan, terdapat 400 perda diskriminatif terhadap perempuan.
Untuk itulah, kita perlu membangun solidaritas gerakan perempuan dalam mengawal proses demokrasi.
Mari kita jadikan ramadhan sebagai momentum kian meneguhkan peran perempuan. Baik itu melawan Covid-19, maupun dalam menyucikan demokrasi. (Nur Elya Anggraini, Komisioner Bawaslu Jatim)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.