Skema pertama, yaitu penambahan enam anggota tetap baru dan tiga anggota tidak tetap baru dengan total berjumlah 24 kursi.
Sedangkan skema kedua, yaitu penambahan delapan kursi baru di luar kelompok yang sudah ada, yang menjabat selama empat tahun dan dapat diperpanjang, ditambah tambahan satu kursi tidak tetap, dengan total yang sama sejumlah 24 kursi.
Jeffrey Sachs, ekonom dari Columbia University pada 2015 di Davos menyatakan bahwa kurangnya keterwakilan di Asia menimbulkan ancaman serius terhadap legitimasi PBB, seiring dengan semakin pentingnya peran kawasan tersebut serta kepadatan penduduknya di dunia.
Kelima anggota tetap DK PBB (disebut Permanent-5/P-5) memiliki posisi yang berbeda terkait hal ini.
AS pada prinsipnya mendukung keanggotaan tetap Jepang dan India sebagai perwakilan dari Asia, serta tambahan sejumlah kecil negara anggota tidak tetap.
Inggris dan Perancis pada dasarnya mendukung posisi G4 sebagai negara anggota tetap dan lebih banyak negara Afrika sebagai bagian dari anggota tidak tetap.
China dan Rusia mendukung perwakilan negara-negara berkembang dan pernah menyuarakan dukungan kepada India untuk duduk sebagai bagian dari anggota tetap DK PBB.
Sekjen PBB Antonio Guterres, juga sempat mencanangkan reformasi DK PBB yang mencakup dalam lima isu: kategori keanggotaan, status hak veto, perwakilan regional, penambahan anggota tetap dan metode kerjanya, serta hubungan DK-PBB dengan Majelis Umum.
Namun kini, isu mengenai hak veto dan reformasi DK PBB tampaknya sudah keluar dari urgensinya, sehingga menjadi hal yang non-issue.
Keterlibatan negara yang termasuk dalam P-5 maupun proksinya menunjukkan bahwa hak veto dapat digunakan secara sewenang-wenang sesuai kepentingan negara-negara tersebut dan bukan lagi kepentingan anggota PBB secara keseluruhan.
Sebagai contoh, DK PBB nyatanya tidak mengeluarkan resolusi pada sebagian konflik besar di era Perang Dingin akibat adanya hak veto, seperti pada waktu invasi negara Pakta Warsawa kepada Cekoslowakia, Perang Vietnam, dan Perang Soviet-Afghanistan.
Oleh karena itu, dalam konflik bersenjata seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas saat ini, usulan seperti gencatan senjata, bila tidak sesuai dengan kepentingan dari satu ataupun lebih negara-negara tersebut, dapat diveto.
Sehingga, hal ini menyebabkan perang semakin berlarut-larut, dan rencana gencatan senjata belum menemukan titik terang.
”Dewan Keamanan yang kita miliki sekarang tidak sesuai dengan dunia saat ini. Saya telah mendorong negara-negara anggota untuk melakukan dialog serius mengenai hal ini. Saya ingin melanjutkan dialog ini, tetapi para anggota permanen PBB tidak setuju,” ujar Guterres melalui CNN pada 10 September 2020 sebelumnya, yang tampaknya mulai menyadari kondisi ironis yang terjadi di DK PBB.
Apabila hal ini terus berlanjut dan reformasi tidak kunjung dilakukan, DK PBB tampaknya hanya akan benar-benar menjadi alat kepentingan bagi negara-negara kuat saja, sehingga ketidakadilan dan ketimpangan dalam upaya resolusi konflik dunia akan terus berlanjut.
Apakah Indonesia dapat berperan dalam upaya reformasi DK PBB ini? Mungkin saja. Indonesia memiliki daya tawar yang mumpuni di PBB untuk menjadi bagian dari hal tersebut.
Namun, bila dihadapkan menjadi bagian dari anggota tetap dari kawasan Asia, tentunya Indonesia akan berhadapan dengan Jepang dan India, yang kelihatannya memiliki daya tawar lebih baik dalam keikutsertaannya di DK PBB, serta mendapat dukungan lebih dari negara-negara lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.