Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketidakadilan Hak Veto dan Reformasi Dewan Keamanan PBB

Terkini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) kembali gagal menyepakati resolusi gencatan senjata di Gaza, yang awalnya diserukan oleh Aljazair pada Desember akhir tahun lalu.

Penyebabnya? Tentu akibat upaya Amerika Serikat sebagai bagian dari anggota tetap DK PBB yang menggunakan hak vetonya untuk menganulir kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Padahal, 13 dari 15 negara anggota DK PBB mendukung resolusi tersebut, terkecuali Inggris yang memilih abstain.

Selain menggunakan hak vetonya, AS juga mendorong seluruh negara anggota DK PBB untuk menyerukan aksi gencatan senjata sementara, tetapi didasari dengan formula pembebasan sandera yang masih ditahan oleh Hamas di Jalur Gaza.

Kekecewaan dari mayoritas negara anggota DK PBB termasuk China, pada akhirnya menyeruak atas seruan AS tersebut, karena membuat situasi di Gaza tak kunjung membaik hingga saat ini.

Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, menyebut bahwa negaranya menggunakan hak veto karena khawatir resolusi gencatan senjata itu akan membahayakan perundingan yang tengah berlangsung antara AS, Mesir, Qatar, serta Israel, yang sedang berupaya mewujudkan jeda peperangan dan pembebasan sandera oleh Hamas.

Ia sekaligus menolak tuduhan bahwa veto tersebut merupakan upaya untuk menutupi invasi Israel ke kota Rafah di Jalur Gaza bagian selatan, yang merupakan tempat perlindungan bagi sekitar 1,4 juta warga pengungsi Palestina yang sedang menghindar dari serangan Israel.

Sebagai badan dunia yang paling bertanggung jawab dalam menjaga keamanan dan perdamaian internasional, DK PBB merupakan ujung tombak yang diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan mulia ini.

Salah satu fungsi utama PBB sebagai organisasi induknya adalah menjaga perdamaian dan keamanan seluruh negara anggotanya, dengan melakukan berbagai upaya pencegahan terjadinya konflik, membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk saling berdamai, memelihara perdamaian, serta menciptakan kondisi yang memungkinkan perdamaian bertahan dan berkembang (peacekeeping and peacebuilding).

Memang, DK PBB dengan mandatnya dalam berbagai inisiatif resolusi konflik dan pemeliharaan perdamaian telah berhasil menurunkan jumlah korban jiwa yang potensial dalam perang maupun konflik bersenjata di seluruh dunia sejak 1945.

Akan tetapi, penggunaan hak veto yang sarat akan kepentingan negara maju tertentu dalam birokrasi di PBB ini tentu kerap kali memunculkan kontroversi.

Sejauh ini, hak veto Istimewa di DK PBB hanya dimiliki oleh lima negara anggota tetapnya saja, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China.

Menurut rilis resmi terakhir PBB, AS tercatat menggunakan keistimewaan hak vetonya di DK PBB sebanyak 84 kali sejak 1946.

Sedangkan negara lain seperti China menggunakan hak veto mereka sebanyak 18 kali, Rusia telah memveto sebanyak 124 kali, Inggris menggunakan hak veto sebanyak 29 kali, dan Perancis sebanyak 16 kali.

Para perancang Piagam PBB telah menyepakati bahwa jika salah satu anggota tetap DK PBB menggunakan hak vetonya, maka resolusi atau keputusan tersebut tak akan disetujui ataupun dilanjutkan.

Selain hak veto, para negara anggota tetap DK PBB juga bisa memilih untuk abstain jika tidak sepenuhnya setuju dengan suatu resolusi tertentu.

Hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB seringkali sempat mendapatkan kritik dari dunia internasional.

Dalam pertemuan PBB pada 2018 misalnya, banyak negara anggota menyuarakan keinginan untuk menghapus hak veto dan menambah jumlah kursi untuk anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Pada 2019, Indonesia juga mendukung usaha untuk menghapus hak veto serta mengembangkan berbagai langkah pengaturan tertentu terkait penggunaannya.

Pertanyaan yang muncul, mengapa hanya lima negara saja, yakni AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China yang memiliki hak veto ini di DK PBB?

Jika merujuk pada sejarah pasca-Perang Dunia II, hak veto merupakan salah satu ketentuan yang disepakati dalam Piagam PBB pada 1945, di mana hal ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan kepada lima negara pemenang Perang Dunia II.

Kelima negara tersebut mendapatkan hak veto juga karena memiliki peranan besar dalam pembentukan PBB serta peranan pentingnya dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan di level internasional.

Dengan hak tersebut, maka negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB memiliki kekuasaan untuk dapat menolak resolusi substantif di bidang keamanan yang dibuat ataupun diajukan oleh negara lain dengan pertimbangan tertentu.

Reformasi Dewan Keamanan PBB

Masalah terkait hak veto dan penambahan negara anggota tetapnya merupakan salah satu isu yang paling kontroversial di lingkungan DK PBB.

Namun ironisnya, negara-negara anggota, kelompok-kelompok regional, serta kelompok kepentingan lainnya memiliki posisi dan sikap yang berbeda terkait hal tersebut.

Beberapa negara menyatakan sangat menentang hak veto serta penambahan anggota tetap DK PBB, dan menghendaki penambahan anggota tidak tetap dipilih berdasarkan tiap-tiap kawasan.

Negara-negara yang mendukung ide ini di antaranya adalah Italia, Pakistan, Kanada, Meksiko, dan Mesir, yang pada 1995 kemudian membentuk kelompok Coffee Club lalu berubah nama menjadi Uniting for Consensus (UfC).

Sementara itu, kelompok dari negara-negara kawasan Afrika menuntut dua kursi anggota tetap yang dirotasi secara bergilir dan dipilih sendiri oleh kelompoknya.

Sekjen PBB Kofi Annan pada 2005, sempat mengusulkan penambahan anggota DK PBB menjadi 24 negara dalam skema dua opsi, yang dikenal sebagai konsep “In Larger Freedom”.

Skema pertama, yaitu penambahan enam anggota tetap baru dan tiga anggota tidak tetap baru dengan total berjumlah 24 kursi.

Sedangkan skema kedua, yaitu penambahan delapan kursi baru di luar kelompok yang sudah ada, yang menjabat selama empat tahun dan dapat diperpanjang, ditambah tambahan satu kursi tidak tetap, dengan total yang sama sejumlah 24 kursi.

Jeffrey Sachs, ekonom dari Columbia University pada 2015 di Davos menyatakan bahwa kurangnya keterwakilan di Asia menimbulkan ancaman serius terhadap legitimasi PBB, seiring dengan semakin pentingnya peran kawasan tersebut serta kepadatan penduduknya di dunia.

Kelima anggota tetap DK PBB (disebut Permanent-5/P-5) memiliki posisi yang berbeda terkait hal ini.

AS pada prinsipnya mendukung keanggotaan tetap Jepang dan India sebagai perwakilan dari Asia, serta tambahan sejumlah kecil negara anggota tidak tetap.

Inggris dan Perancis pada dasarnya mendukung posisi G4 sebagai negara anggota tetap dan lebih banyak negara Afrika sebagai bagian dari anggota tidak tetap.

China dan Rusia mendukung perwakilan negara-negara berkembang dan pernah menyuarakan dukungan kepada India untuk duduk sebagai bagian dari anggota tetap DK PBB.

Sekjen PBB Antonio Guterres, juga sempat mencanangkan reformasi DK PBB yang mencakup dalam lima isu: kategori keanggotaan, status hak veto, perwakilan regional, penambahan anggota tetap dan metode kerjanya, serta hubungan DK-PBB dengan Majelis Umum.

Namun kini, isu mengenai hak veto dan reformasi DK PBB tampaknya sudah keluar dari urgensinya, sehingga menjadi hal yang non-issue.

Keterlibatan negara yang termasuk dalam P-5 maupun proksinya menunjukkan bahwa hak veto dapat digunakan secara sewenang-wenang sesuai kepentingan negara-negara tersebut dan bukan lagi kepentingan anggota PBB secara keseluruhan.

Sebagai contoh, DK PBB nyatanya tidak mengeluarkan resolusi pada sebagian konflik besar di era Perang Dingin akibat adanya hak veto, seperti pada waktu invasi negara Pakta Warsawa kepada Cekoslowakia, Perang Vietnam, dan Perang Soviet-Afghanistan.

Oleh karena itu, dalam konflik bersenjata seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas saat ini, usulan seperti gencatan senjata, bila tidak sesuai dengan kepentingan dari satu ataupun lebih negara-negara tersebut, dapat diveto.

Sehingga, hal ini menyebabkan perang semakin berlarut-larut, dan rencana gencatan senjata belum menemukan titik terang.

”Dewan Keamanan yang kita miliki sekarang tidak sesuai dengan dunia saat ini. Saya telah mendorong negara-negara anggota untuk melakukan dialog serius mengenai hal ini. Saya ingin melanjutkan dialog ini, tetapi para anggota permanen PBB tidak setuju,” ujar Guterres melalui CNN pada 10 September 2020 sebelumnya, yang tampaknya mulai menyadari kondisi ironis yang terjadi di DK PBB.

Apabila hal ini terus berlanjut dan reformasi tidak kunjung dilakukan, DK PBB tampaknya hanya akan benar-benar menjadi alat kepentingan bagi negara-negara kuat saja, sehingga ketidakadilan dan ketimpangan dalam upaya resolusi konflik dunia akan terus berlanjut.

Apakah Indonesia dapat berperan dalam upaya reformasi DK PBB ini? Mungkin saja. Indonesia memiliki daya tawar yang mumpuni di PBB untuk menjadi bagian dari hal tersebut.

Namun, bila dihadapkan menjadi bagian dari anggota tetap dari kawasan Asia, tentunya Indonesia akan berhadapan dengan Jepang dan India, yang kelihatannya memiliki daya tawar lebih baik dalam keikutsertaannya di DK PBB, serta mendapat dukungan lebih dari negara-negara lainnya.

https://www.kompas.com/global/read/2024/03/19/054500870/ketidakadilan-hak-veto-dan-reformasi-dewan-keamanan-pbb

Terkini Lainnya

Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Internasional
Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Global
AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Global
Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Internasional
AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

Global
6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

Global
Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Global
Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Global
Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Global
[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

Global
Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky yang Dirancang Rusia

Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky yang Dirancang Rusia

Global
Polisi Bubarkan Demo Mahasiswa Pro-Palestina di Amsterdam dan Berlin

Polisi Bubarkan Demo Mahasiswa Pro-Palestina di Amsterdam dan Berlin

Global
OPCW: Tuduhan Penggunaan Senjata Kimia di Ukraina Tidak Cukup Bukti

OPCW: Tuduhan Penggunaan Senjata Kimia di Ukraina Tidak Cukup Bukti

Global
Israel Kerahkan Tank ke Rafah, Ambil Alih Kontrol Perbatasan

Israel Kerahkan Tank ke Rafah, Ambil Alih Kontrol Perbatasan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke