Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usai Diumumkan Wajib Militer, Ribuan Pemuda Antre Visa untuk Tinggalkan Myanmar

Kompas.com - 18/02/2024, 19:27 WIB
Albertus Adit

Penulis

Sumber Mothership

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Lebih dari 1.000 orang mengantre di luar Kedutaan Besar Thailand di Yangon Myanmar pada Jumat (16/2/2024) untuk mendapatkan visa.

Harapannya, dengan visa itu pemuda dan pemudi bisa meninggalkan Myanmar pasca-pengumuman wajib militer di negara tersebut.

Dikutip dari Mothership pada Minggu (18/2/2024), wajib militer itu diberlakukan bagi semua laki-laki berusia 18-35 tahun dan perempuan berusia 18-27 tahun harus mengabdi hingga dua tahun.

Baca juga: Myanmar Berlakukan Wajib Militer, Ribuan Pemuda Berusaha Tinggalkan Negara

Sementara dokter spesialis seperti dokter berusia hingga 45 tahun harus mengabdi selama tiga tahun.

Selain itu, layanan ini dapat diperpanjang hingga total lima tahun jika dalam keadaan darurat. Junta Myanmar mengumumkannya pada 10 Februari 2024.

Sejak itu, Kedutaan Besar Thailand di Yangon dibanjiri oleh anak-anak muda yang mencari visa untuk keluar dari Myanmar.

Dalam video yang diposting ke media sosial X, terlihat antrean panjang. Diperkirakan antrean tersebut mencapai 1.000-2.000 orang, lapor Yahoo.

Bahkan, beberapa orang juga mengaku tidur di mobil atau di hotel terdekat hanya agar mereka bisa mengantre semalaman.

Kedutaan besar tersebut mengatakan akan mengeluarkan 400 tiket bernomor setiap hari untuk mengatur antrean.

Baca juga: Junta Myanmar Berlakukan Wajib Militer bagi Anak Muda

Seorang remaja berusia 22 tahun mengatakan bahwa dia hanya ingin melarikan diri dari negara tersebut.

Alasan wajib militer

Myanmar telah terlibat dalam konflik sipil sejak kudeta militer pada Februari 2021 menggulingkan pemerintahan terpilih secara demokratis yang dibentuk oleh Liga Nasional untuk Demokrasi, yang terkait dengan Aung San Suu Kyi.

Perlawanan terhadap kudeta segera dimulai, dan protes besar-besaran akhirnya digantikan oleh adanya perlawanan bersenjata.

Pertempuran antara militer dan pasukan perlawanan bersenjata terus berlangsung sejak saat itu, dan militer mengandalkan serangan udara yang juga mengakibatkan banyak korban sipil.

Militer mendapat serangan mendadak dan dikenal sebagai Tatmadaw, pada Oktober lalu.

Militer menderita kerugian yang signifikan ketika aliansi tiga kelompok pemberontak etnis minoritas, yang bersekutu dengan pejuang pro-demokrasi, merebut sebagian besar wilayah di timur laut Myanmar di sepanjang perbatasan China.

Baca juga: Baku Tembak di Perbatasan Myanmar-Bangladesh, Penjaga Lari Cari Perlindungan

Setelah kemunduran tersebut, militer telah memberlakukan undang-undang tersebut dengan harapan dapat merekrut lebih banyak personel non-tempur untuk melawan perlawanan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

Global
Argentina Luncurkan Uang Kertas 10.000 Peso, Setara Rp 182.000

Argentina Luncurkan Uang Kertas 10.000 Peso, Setara Rp 182.000

Global
Majikan Ditemukan Meninggal, PRT Ini Sebut karena Bunuh Diri dan Diwarisi Rp 43,5 Miliar

Majikan Ditemukan Meninggal, PRT Ini Sebut karena Bunuh Diri dan Diwarisi Rp 43,5 Miliar

Global
Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Internasional
Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Global
AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Global
Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Internasional
AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

Global
6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

Global
Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Global
Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Global
Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Global
[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

Global
Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky yang Dirancang Rusia

Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky yang Dirancang Rusia

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com