Penulis: Tommy Walker/DW Indonesia
NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Gencatan senjata yang baru-baru ini digagas China antara kelompok oposisi bersenjata Myanmar dan militer yang berkuasa tidak berarti konflik akan berhenti, ungkap para analis.
Kelompok oposisi, yakni Aliansi Tiga Persaudaraan yang adalah sebuah aliansi antara Tentara Arakan, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang adalah yang terbesar.
Aliansi yang dibentuk pada Juni 2019 dan didukung oleh pemerintah serta pasukan pertahanan pro-demokrasi yang dipimpin oleh warga sipil ini menjadi ancaman bagi junta Myanmar sejak kudeta tiga tahun lalu.
Baca juga: Kudeta Myanmar Timbulkan Perang Saudara, Warga Sipil Menderita
Myanmar berada dalam kekacauan sejak Jenderal Min Aung Hlaing dan pasukan militernya menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis pada Februari 2021.
Kudeta tersebut memicu konflik bersenjata antara Pemerintah Persatuan Nasional yang dipimpin sipil, pasukan pertahanan rakyat, dan kelompok etnis bersenjata.
Konflik tersebut dipandang sebagai perang gesekan hingga terjadi serangan besar-besaran yang dimulai dengan Operasi 1027 pada Oktober, dengan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA,) dan Tentara Arakan (AA) dari Myanmar.
Tujuan mereka adalah menghapus kekuasaan militer di wilayah yang disengketakan, dan dalam hampir tiga bulan, puluhan kota kecil dan ratusan pangkalan militer yang dikuasai junta telah direbut. Serangan tersebut juga telah menyebar ke wilayah dan negara bagian lain di Myanmar.
Kyaw Hsan Hlaing, seorang analis politik dari Myanmar mengatakan, serangan baru-baru ini telah memotivasi kelompok-kelompok yang berlawanan di seluruh negeri untuk melakukan perlawanan.
"Keberhasilan Operasi 1027 telah menjadi tonggak sejarah bagi perlawanan dan perang saudara di Myanmar, menandai pencapaian besar dalam merobohkan beberapa kota. Prestasi ini telah memotivasi kelompok perlawanan besar lainnya di seluruh negeri,” katanya.
Salah satu keberhasilan terbesar dari serangan pemberontak sejauh ini adalah perebutan Laukkai, ibu kota Zona Administrasi Mandiri Kokang, yang berada di sepanjang perbatasan Myanmar-China, tempat MNDAA mengeklaim kendali atas kota tersebut awal bulan ini.
Konflik di kawasan ini menarik perhatian China karena berdampak gangguan perdagangan dan peningkatan pengungsi di perbatasannya dengan Myanmar. Beijing telah dua kali gagal menjadi perantara gencatan senjata untuk mengurangi risiko lebih lanjut.
Namun, awal bulan ini, Kementerian Luar Negeri China mengonfirmasi bahwa perundingan perdamaian telah dilakukan antara aliansi dan perwakilan junta di Kunming, sebuah kota di China.
Hasilnya "gencatan senjata segera” telah disepakati untuk menghentikan pertempuran di lokasi tertentu.
Baca juga: Junta Myanmar Perpanjang Keadaan Darurat 6 Bulan, Tunda Pemilu Lagi
Hlaing mengatakan, meskipun ada gencatan senjata dan upaya gencatan senjata sebelumnya, hal ini belum sepenuhnya menghentikan pertempuran.