Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gempa Afghanistan: Sejumlah Pria Tolak Sentuh Perempuan yang Terluka atau Meninggal

Kompas.com - 21/10/2023, 14:31 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

KABUL, KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengonfirmasi bahwa 90 persen dari korban meninggal dunia akibat gempa bumi di Afghanistan pada 7 Oktober silam adalah perempuan dan anak-anak.

Gempa di Provinsi Herat di bagian barat Afghanistan itu, menewaskan hampir 1.300 orang, menurut PBB.

BBC berbicara dengan para dokter, saksi mata, dan aktivis yang menuding pembatasan besar-besaran yang diberlakukan oleh Taliban adalah penyebab tingginya angka kematian perempuan.

Baca juga: Kerugian Besar Gempa Afghanistan, Ribuan Rumah Rata dengan Tanah

Salma (bukan nama sebenarnya), dokter perempuan dari Herat, mampu menjangkau daerah-daerah yang terkena dampak terburuk untuk memberikan pertolongan pertama kepada perempuan-perempuan yang terluka. Ia menjadi saksi penyebab tingginya angka kematian.

“Saya mengunjungi sebuah desa tempat tinggal anggota Taliban. Beberapa pria menolak menyentuh perempuan yang terluka atau meninggal,” ungkapnya.

Diskriminasi

Distrik Zenda Jan, terletak 40 km sebelah barat Herat, merupakan pusat gempa pertama dan paling dahsyat.

Penduduk setempat mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada satu pun bangunan yang bertahan di 20 desa terpencil di pegunungan.

Mayoritas warga yang berada di dalam rumah ketika gempa terjadi adalah perempuan dan anak-anak.

Kaum perempuan di wilayah pedesaan Afghanistan memang lebih banyak berada di rumah pada siang hari, tetapi ketika Taliban merebut kekuasaan pada tahun 2021, mereka memberlakukan serangkaian tindakan yang melarang perempuan melakukan sebagian besar pekerjaan dan menempuh pendidikan setelah sekolah dasar.

Baca juga: WHO: Sebagian Besar Korban Gempa Afghanistan adalah Perempuan dan Anak-anak

Hal ini membuat sebagian besar perempuan harus menjalani aktivitasnya di dalam rumah.

"Para laki-laki berada di ladang atau mengawasi ternak mereka atau bermigrasi ke Iran untuk bekerja. Para perempuan di rumah melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak-anak. Mereka terjebak di bawah reruntuhan," kata Salma kepada BBC.

Mariam (bukan nama sebenarnya), aktivis perempuan berusia 23 tahun, mengatakan dia juga melihat Taliban memperingatkan petugas pertolongan pertama untuk tidak menyentuh perempuan yang terdampak gempa.

“Laki-laki setempat tidak mempunyai masalah apa pun dalam menyelamatkan perempuan, namun beberapa anggota Taliban yang bersenjata tidak mengizinkan laki-laki mendekati mereka,” kata Mariam.

“Mereka juga melarang perempuan pergi ke daerah tersebut dalam dua atau tiga hari pertama, karena mereka tidak ingin adanya percampuran gender,” tambahnya.

Petugas lembaga kemanusiaan bernama Abdul (bukan nama sebenarnya) mengatakan kepada BBC bahwa Taliban tidak mengizinkan laki-laki memegang jenazah perempuan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com