STOCKHOLM, KOMPAS.com - Greta Thunberg bersama ratusan aktivis lainnya mengajukan gugatan hukum terhadap negara atas tindakan yang tidak memadai untuk menanggapi masalah iklim.
Lebih dari 600 orang di bawah usia 26 tahun menandatangani dokumen 87 halaman, yang merupakan dasar untuk gugatan yang akan diajukan di Pengadilan Distrik Stockholm, Swedia.
Dilansir dari Daily Mail pada Sabtu (26/11/2022), tuntutan mereka menginginkan agar pengadilan memutuskan bahwa kebijakan iklim Swedia telah melanggar hak asasi warganya.
Baca juga: Perubahan Iklim: Gletser Mencair, Ribuan Ton Bakteri Merebak ke Lingkungan
“Swedia tidak pernah memperlakukan krisis iklim seperti krisis,” ujar Anton Foley, juru bicara inisiatif yang dipimpin oleh pemuda Aurora, yang menyiapkan dan mengajukan gugatan.
Lebih lanjut, menurut pihaknya, Swedia telah gagal melakukan tanggung jawabnya dan melanggar hukum.
Dalam cuitan di Twitter pada Jumat (25/11/2022), Thunberg mengatakan bahwa “hari ini di Black Friday adalah hari yang sempurna untuk menuntut negara atas kebijakan iklimnya yang tidak memadai.”
“Jadi itulah yang kami lakukan. Sampai jumpa di pengadilan!” tegas aktivis muda berusia 19 tahun ini.
Beberapa jam kemudian dia mengunggah soal “Demo Pelajar Minggu ke-223.”
“Hari ini kita adalah 636 orang muda di @Auroramalet yang menggugat negara Swedia karena aksi iklim yang tidak memadai.”
"Karena itu, kami sekarang melakukan pawai dari parlemen ke pengadilan."
School strike week 223. Today we are 636 young people in @auroramalet who are suing the Swedish state for insufficient climate action. Therefore we now marched from the parliament to the court.#FridaysForFuture #ClimateStrike #Aurora #ClimateTrials #UprootTheSystem @auroramalet pic.twitter.com/gatAMGPzcp
— Greta Thunberg (@GretaThunberg) November 25, 2022
Baca juga: [POPULER GLOBAL] Debat Sengit COP27 | Catatan Akhir KTT G20
Pada 2017, Parlemen Swedia memutuskan bahwa pada 2045 negara ini akan memiliki nol emisi bersih gas rumah kaca yang masuk ke atmosfer dan 100 persen energi terbarukan.
Penyiar Swedia TV4 mengatakan pemerintah menolak mengomentari penuntutan hukum yang sedang berlangsung.
Kampanye iklim telah meluncurkan banyak tuntutan hukum terhadap pemerintah dan perusahaan dalam beberapa tahun terakhir - dengan hasil yang beragam.
Dalam salah satu kasus paling terkenal, Pengadilan Tinggi Jerman memutuskan tahun lalu bahwa pemerintah harus mengubah target iklimnya untuk menghindari beban (lingkungan) yang harus ditanggung kaum muda.
Pemerintah Jerman menanggapi putusan tersebut dengan mengedepankan targetnya untuk emisi nol bersih selama lima tahun hingga 2045 dan meletakkan lebih banyak langkah jangka pendek dan menengah untuk mencapai tujuan itu.
Kesepakatan juga tercapai di akhir KTT COP27 pada Minggu (20/11/2022).
Baca juga: Negara-negara COP27 Sepakat Siapkan Dana Kerugian dan Kerusakan untuk Negara Berkembang
Pemerintah kaya yang hadir menyegel pakta untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara -negara miskin menggunakan mekanisme “kerugian dan kerusakan.”
Ini akan membuat negara-negara membayar miliaran ke negara yang dilanda cuaca ekstrem dan naiknya permukaan laut karena dampak perubahan iklim.
Namun, banyak peserta memperingatkan bahwa hasil konferensi ini bukan langkah yang cukup besar untuk mengurangi emisi.
“Hasil bersejarah tentang dana kehilangan dan kerusakan di COP27 menunjukkan kerja sama internasional adalah mungkin,” kata Mary Robinson, mantan presiden Irlandia dan ketua para penatua.
Akan tetapi, “sama halnya, komitmen baru pada batas pemanasan global 1,5 derajat Celsius adalah sumber kelegaan. Itu tidak mengubah fakta bahwa dunia tetap berada di ambang bencana iklim.” komentarnya pesimis.
Baca juga: COP27 dan Geopolitik Mineral Kritis
Kepala PBB Antonio Guterres mengatakan pembicaraan dana kerugian dan kerusakan merupakan langkah penting, Tapi dia berpendapat bahwa “planet kita masih dalam zona gawat darurat.”
"Kita perlu secara drastis mengurangi emisi sekarang dan ini adalah masalah yang tidak ditangani oleh COP."
Target pemanasan global 1,5 derajat Celsius adalah hasil dari Perjanjian Paris, Perjanjian Global tentang Perubahan Iklim yang dinegosiasikan pada 2015.
Namun di bawah komitmen dan rencana saat ini, pemanasan dunia kini justru menuju ke 2,5 derajat Celsius dan telah mengakibatkan peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia, seperti banjir baru-baru ini di Pakistan.