PARA pemimpin dunia sedang berembuk di Sharm El Sheikh, Mesir, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB (COP27). Konferensi tahun ini membawa beban tantangan iklim yang menjadi ancaman besar yang dihadapi umat manusia.
Ancaman tersebut menjadi determinan meningkatnya volatilitas pasar energi global, kenaikan harga energi, krisis ketahanan pangan, dan perang yang tak kunjung berakhir.
Distorsi tersebut menyebabkan masalah rantai pasok energi dan mineral kritis (mineral yang jumlahnya terbatas yang digunakan untuk teknologi berbasis energi bersih dan terbarukan) sehingga menghambat percepatan transisi ke energi bersih. Karena itu, dunia perlu fokus memperluas pasokan mineral kritis seperti grafit, nikel, kobalt, litium, dan semua mineral turunannya.
Baca juga: Krisis Energi Global, Kementerian ESDM Ingin Percepatan Transisi Energi Jadi Komitmen KTT G20
Masalahnya, kontestasi geopolitik atas akses mineral kritis semakin sengit, sebab mendapatkan pasokan mineral kritis yang memadai merupakan hambatan utama yang dihadapi, baik dekarbonisasi global maupun keamanan internasional.
Bukan mustahil suhu geopolitik dunia suatu saat akan dipengaruhi politik mineral kritis yang diperebutkan, menggantikan geopolitik energi fosil. Kontestasi mineral kritis akan semakin ketat sebab ekspektasi permintaan mineral kritis akan meningkat seiring transisi dunia dari bahan bakar fosil.
Kendaraan listrik (EV), misalnya, tumbuh pesat dengan pangsa pasar otomotif secara keseluruhan mencapai 17 persen dari total penjualan mobil di Eropa pada 2021 dan 35 persen di China pada 2022. Hampir setiap produsen mobil besar bahkan berencana hanya memproduksi EV pada akhir dekade ini.
Tentu saja, ambisi itu akan membutuhkan jutaan ton lithium, grafit, nikel, dan mineral lain yang saat ini belum dieksploitasi dan akan dieksploitasi secara besar-besaran di tahun-tahun mendatang.
Kita lihat saja permintaan baterai untuk EV yang menyebabkan permintaan lithium global naik 75 persen. Menurut laporan mineral kritis terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA), akan semakin banyak mineral yang relatif langka (kritis) yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dunia akan energi bersih.
Pada tahun 2040, sektor energi bersih akan membutuhkan lebih dari 60 persen kobalt dan nikel dunia, 40 persen tembaganya, dan 80 persen lithiumnya. Dalam skenario pertumbuhan tinggi, permintaan mineral akan meningkat 400 persen pada tahun 2040.
Intinya, untuk mengurangi emisi, mengurangi perubahan iklim, dan mencapai transisi energi yang cepat, dunia akan membutuhkan jumlah besar mineral kritis baru. Itu berarti tantangan baru untuk membangun rantai pasokan yang transparan, pasar yang diatur dengan baik, serta mengubah pola ketegangan dan aliansi geopolitik.
Saat ini, China bisa dibilang negara paling penting dalam rantai pasokan mineral kritis, menguasai 68 persen nikel dunia dan 59 persen lithiumnya. China juga mempertahankan 78 persen kapasitas baterai lithium dunia dan 84 persen kapasitas manufaktur panel surya global.
Ironisnya, meski Indonesia “mengandung” cadangan nikel terbesar di dunia, namun nilai tambah pemurnian nikel masih dikuasai investor asing. Padahal Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, menghasilkan 38 persen dari total pasokan global. Ini memegang seperempat dari cadangan logam dunia.
Baca juga: Menteri ESDM: Pengolahan dan Pemurnian Mineral Kritis Wajib Dilakukan
Rusia memasok seperlima dari nikel dengan kemurnian tinggi yang digunakan dalam baterai, sementara Kanada dan Australia juga merupakan produsen nikel besar.
Indonesia diperkirakan tetap akan menjadi sumber pertumbuhan terbesar di tahun-tahun mendatang. Namun, Indonesia saat ini masih bergantung pada dominasi perusahaan asing seperti Tsingshan dari China, produsen baja nirkarat terbesar di dunia, dan Vale Brasil untuk mengekstraksi nikel.
Selain itu, dominasi mineral kritis China juga menjadi elemen ketegangan geopolitik dengan Amerika Serikat (AS). Tak tanggung-tangung, Strategi Keamanan Nasional (NSS) dan Strategi Pertahanan Nasional (NDS) terbaru Amerika Serikat sedang diformat ulang dengan sumber daya energi sebagai titik fokus utamanya.