Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Hal yang Perlu Diketahui tentang Obat Batuk Asal India yang Diduga Sebabkan Gagal Ginjal di Gambia

Kompas.com - 19/10/2022, 10:29 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Catatan resmi di India menunjukkan bahwa perusahaan itu:

  • Masuk daftar hitam di Negara Bagian Bihar pada tahun 2011, karena menjual sirup yang gagal memenuhi standar lokal
  • Menjalani proses hukum oleh regulator obat India pada tahun 2018, karena pelanggaran kontrol kualitas
  • Gagal dalam tes kontrol kualitas di Negara Bagian Jammu dan Kashmirpada tahun 2020
  • Gagal dalam tes kontrol kualitas di Negara Bagian Kerala sebanyak empat kali pada tahun 2022

Maiden Pharmaceuticals juga termasuk di antara hampir 40 perusahaan farmasi India yang masuk daftar hitam oleh Vietnam, karena mengekspor produk di bawah standar.

Perusahaan, yang berbasis di negara bagian Haryana, mengatakan "terkejut" dengan kematian puluhan anak yang terjadi di Gambia dan telah dengan rajin mengikuti protokol otoritas kesehatan, termasuk otoritas pengawas obat India dan negara bagian Haryana.

Akan tetapi, perusahaan tersebut menyatakan tak akan memberikan komentar lebih lanjut saat regulator masih melakukan pengujian.

Menteri kesehatan negara bagian Haryana, India, Anil Vij, mengatakan kepada BBC News bahwa sampel telah dikirim untuk pengujian dan jika sesuatu yang salah terdeteksi, tindakan akan diambil.

Baca juga: Gempa Afghanistan: Wabah Kolera Mengancam Saat Korban Bertahan Tanpa Makanan dan Tempat Berteduh

5. Seberapa efektif kontrol kualitas India?

India memproduksi sepertiga dari obat-obatan dunia, sebagian besar dalam bentuk obat generik.

Negara ini adalah pemasok utama ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin dan negara-negara lain di Asia.

Pabrik manufakturnya diwajibkan untuk mematuhi standar kontrol kualitas yang ketat dan praktik produksi.

Tetapi perusahaan-perusahaan India banyak menuai kritik, bahkan larangan, dari regulator luar negeri seperti badan pengawas makanan dan obat-obatan AS (FDA) karena masalah kontrol kualitas di beberapa pabrik.

Salah satu analisis industri farmasi India menunjukkan kekurangan dana dari badan pengawas dan interpretasi peraturan yang lemah sebagai masalah utama, dengan kurangnya minat untuk memastikan standar kemurnian dipatuhi.

Aktivis kesehatan masyarakat, Dinesh Thakur, juga menyoroti hukuman yang relatif ringan di India karena melanggar standar kualitas. Hukumannya "hanya" denda 242 dollar AS atau sekitar Rp3,7 juta, dan ancaman hukuman penjara hingga dua tahun.

"Kecuali seseorang dapat menunjukkan hubungan sebab akibat secara langsung antara obat dengan kematian, ini adalah norma hukuman yang dijatuhkan," kata Thakur.

Selain itu, badan nasional yang mengatur obat-obatan di India, termasuk untuk vaksin, tidak sesuai dengan standar WHO.

"Ini dapat menyebabkan kontrol pengawasan yang tidak konsisten atas kegiatan manufaktur farmasi," kata Leena Menghaney, dari badan amal medis Médecins Sans Frontires (MSF).

Baca juga: Peringatan Gelombang Baru Covid-19 dari Eropa, WHO: Infeksi Lainnya Dimulai

6. Perlukah pengujian dilakukan di Gambia?

Kementerian Kesehatan India di Delhi telah meluncurkan penyelidikan, tetapi menurut mereka itu adalah praktik biasa yang dilakukan negara pengimpor untuk menguji produk-produk dan memastikan kualitasnya.

Akan tetapi, direktur eksekutif badan pengawas obat Gambia, Markieu Janneh Kaira, mengatakan pihaknya memprioritaskan pemeriksaan obat malaria, antibiotik, dan obat penghilang rasa sakit, daripada sirup obat batuk tersebut.

BBC telah menghubungi badan tersebut untuk meminta klarifikasi, namun tidak mendapat respons.

Presiden Gambia, Adama Barrow, berkata dirinya akan mencari akar masalah yang menjadi penyebab tragedi tersebut.

Dia juga mengumumkan dibentuknya laboratorium nasional untuk memeriksa kualitas dan keamanan obat dan makanan.

"Gambia akan membangun perlindungan untuk menghilangkan impor obat-obatan di bawah standar," tambahnya.

MSF menginginkan negara-negara dengan kapasitas pengujian yang memadai untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah seperti Gambia.

"Ini bukan tentang tanggung jawab negara pengimpor saja," kata Menghaney.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com