Samana dari Kabul kini tak lagi mampu menatap pakaian warna-warni di lemarinya, apa lagi memakainya. “Itu mengingatkan saya pada semua yang telah hilang.”
Dia jatuh dalam depresi yang mendalam, setelah insiden dramatis ketika dia sedang berjalan pulang sendirian.
Di gang yang sepi, dua anggota Taliban bersenjata menghampirinya. “Mereka meneriaki saya pelacur karena saya ‘terbuka’, dan menuntut jawaban mengapa saya tidak mengenakan jilbab.”
Anggota Taliban itu mengarahkan senjata mereka ke wajah Samana, salah satu dari mereka mengarahkan jarinya ke pelatuk. Wanita itu pun hanya mampu menundukan kepala dan berkata: "Itu tidak akan terjadi lagi."
Sesampainya di rumah, wanita asal Kabul itu terduduk dan menangis selama satu jam. “Saya berkata pada diri sendiri: ini adalah peringatan untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Baca juga: Pengakuan Menteri Pertahanan Inggris: 20 Tahun Operasi di Afghanistan Gagal
Pengalaman serupa dialami Zahra di Kabul barat. Setelah perintah Taliban mengumumkan pengumuman wajib ketentuan berpakaian tertutup untuk wanita, dia ditangkap.
“Meskipun saya tidak berniat mengikuti perintah mereka, saya meminta maaf (saat itu) dan berpikir mereka akan membiarkan saya pergi.”
Tetapi ternyata hukumannya lebih dari itu. Taliban mendatangi rumahnya, memperingatkan keluarganya bahwa jika wanita Afghanistan itu ditemukan “tak tertutup” di depan umum, maka dia akan ditahan.
“Sejak itu, ayah saya jarang mengizinkan saya atau saudara perempuan saya meninggalkan rumah, dan mengatakan kami tidak bisa kuliah. Bahkan saudara-saudara saya sekarang tahu apa yang saya pakai dan ke mana saya pergi setiap saat.”
Pemerintah Taliban masih melarang remaja wanita Afghanistan kembali ke bangku sekolah. Sementara mereka yang sudah sampai di bangku perguruan tinggi, mendapat akses yang terbatas, dengan kelas khusus wanita dengan pengajar wanita dan kelas pria dengan pengajar pria.
Sabira di provinsi Bamiyan masih beruntung bisa kembali masuk ke Universitas. Dia tidak dipaksa memakai hijab hitam di kampus, tapi di dalam lingkungan pendidikan itu pun wanita selalu diawasi.
“Ada pemberitahuan hijab di pintu dan dinding. Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari di Bamyan, semua mahasiswa akan dipaksa hidup seperti ini. Saya tidak percaya kehidupan berubah di sini.”
Baca juga: Taliban Bubarkan Unjuk Rasa Kaum Perempuan dengan Kekerasan
Kondisinya masih lebih beruntung dari Mah Liqa, yang lokasinya harus dirahasiakan demi keamanannya. Wanita Afghanistan berusia 14 tahun itu mengaku depresi karena sama sekali tidak diizinkan pergi ke sekolah.
“Tetapi saya terus mengatakan pada diri sendiri bahwa saya harus terus maju untuk masa depan yang lebih baik dan untuk impian saya,” katanya sebagaimana dilansir Guardian.
Liqa masih berusaha mencari cara untuk bisa terus belajar, meskipun ada larangan bagi anak perempuan untuk pergi ke sekolah. Sekarang, dia belajar bahasa Inggris di rumah setiap hari agar bisa mengajukan beasiswa untuk belajar ilmu komputer di luar negeri suatu hari nanti.