Idi Amin adalah pemimpin militer yang merebut kekuasaan di Uganda pada 1971.
Pada satu dekade setelahnya, Uganda berada di bawah kekuasaan diktator brutal, di mana terjadi pembunuhan massal dan pengusiran warga Asia.
Dia digulingkan oleh tentara Tanzania dan kelompok-kelompok Uganda di luar negeri pada 1979. Idi Amin kemudian melarikan diri ke Arab Saudi.
Menurut Profesor Escriba-Folch, diktator seperti Idi Amin sering kali menemukan tempat persembunyian di negara yang memiliki hubungan erat, baik secara historis, politis, militer, maupun ekonomi.
Saudi bersedia menampung Idi Amin, tokoh yang diyakini bertanggung jawab atas tewasnya 400.000 rakyat Uganda. Dia hidup tenang di Saudi sampai meninggal dunia pada 2003.
Baca juga: Profil Idi Amin, Diktator Militer Penjagal Uganda
Saudi tak hanya negara tujuan para pemimpin negara yang melarikan diri. Negara di Eropa yang menampung pelarian sejumlah pemimpin negara adalah Perancis, yang menerima mantan presiden Haiti Jean-Claude Duvalier, lebih dikenal dengan sebutan "Baby Doc".
Dia baru berusia 19 tahun, ketika menerima gelar presiden seumur hidup dari sang ayah, Francois Duvalier atau "Papa Doc", yang memerintah Haiti sejak 1957.
Sama seperti ayahnya, dia disokong oleh milisi brutal Tontons Macoutes untuk menguatkan cengkraman atas negara kepulauan Karibia itu. Selama kekuasaannya, diperkirakan 20.000 hingga 30.000 rakyat Haiti tewas.
Setelah digulingkan oleh kekuatan rakyat pada 1986, dia menghabiskan waktu 25 tahun di pengasingan, awalnya di Perancis selatan.
Situasi berubah setelah bank Swiss membekukan rekeningnya pada 1986. Dia juga kehilangan sebagian besar kekayaan ketika bercerai dengan istrinya pada 1993.
Setelah ini, ia tinggal di satu apartemen kecil di Paris dan menggantungkan sumbangan untuk bertahan hidup.
Pada 2011, ia kembali ke Haiti. Meski menghadapi tuduhan korupsi dan penggelapan uang negara, dia dibolehkan hidup tenang di pinggiran ibu kota Port-au-Prince sampai ia meninggal pada 2014 karena serangan jantung.
Baca juga: Kekerasan Geng di Haiti Makin Gawat, Resolusi PBB Sepakat Hambat Senjata Masuk
Dalai Lama mengasingkan diri setelah China melancarkan penumpasan brutal di Tibet pada 1959.
Sejak itu, atas pemberian suaka oleh Jawaharlal Nehru, Dalai Lama tinggal di India. Nehru, yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri tak mengindahkan peringatan pemimpin China, Zhou Enlai.
Menurut pakar politik Madhav Nalapat, kesediaan India menerima Dalai Lama menjadi akar ketidakpercayaan antara India dan China, yang berlangsung hingga sekarang.
“Keputusan Nehru tidak menerima permintaan China adalah era penting (dalam hubungan China-India). Keputusan untuk menerima secara terbuka Dalai Lama menciptakan rasa saling tidak percaya antara India dan China yang berlangsung bahkan hingga sekarang,” kata Nalapat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.