Ia dipaksa mengasingkan diri dua kali. Dan dua-duanya memberinya kesempatan untuk menjadi perdana menteri: 1988-1990 dan 1993-1996.
Baca juga: Detik-detik Terbunuhnya Benazir Bhutto, Tokoh Wanita Pakistan
Di puncak popularitasnya, tak lama setelah untuk pertama kalinya menang pemilu, ia adalah salah satu pemimpin perempuan paling dikenal di dunia. Rapat-rapat akbar yang ia hadiri selalu penuh sesak.
Namun dua kali pula ia harus dipecat oleh presiden dengan tuduhan korupsi. Dia meninggal dunia dalam bom bunuh diri pada 2013, bersama sang ayah dan dua saudara laki-laki.
Tokoh yang dua kali menggantikan Bhutto adalah Nawaz Sharif, yang digulingkan militer pada 1999 dan mengikuti jejak Bhutto dengan mengasingkan diri ke Arab Saudi.
Selang 14 tahun kemudian, Sharif memimpin kekuatan oposisi dan memenangkan pemilu untuk ketiga kalinya.
Pada 2017, ia dipaksa mengakhiri karier politik setelah Mahkamah Agung melarangnya menjadi pejabat publik menyusul pengungkapan Panama Papers. Di dokumen itu, Sharif dituduh menyembunyikan kekayaan keluarga.
Baik Bhutto maupun Sharif sama-sama dipaksa mengasingkan diri oleh jenderal bernama Pervez Musharraf, yang juga harus pula mengasingkan diri.
Baca juga: Pakistan Diambang Kerusuhan Sipil Setelah Penggulingan Imran Khan, Apa yang Terjadi?
Ruhollah Khomeini dikenal sebagai tokoh agama Iran yang menentang, dan kemudian menggantikan rezim pro-Barat pimpinan Shah Mohammed Reza Pahlavi.
Saat ia berada di tampuk kekuasaan, Khomeini mengubah negara menjadi Republik Islam dan lahirlah Iran seperti yang dikenal sekarang.
Baik Khomeini dan Pahlavi sama-sama pernah berada di pengasingan. Bagi Khomeini, ini terjadi pada 1964 hingga 1979.
Kritiknya yang tajam membuat ia harus mengasingkan diri ke Turki, Irak, dan kemudian Perancis. Dari sana, dia masih menyerukan para pendukungnya agar menggulingkan pemerintahan Pahlavi.
Pada saat yang bersamaan, pemerintahan Pahlavi makin tidak populer di mata rakyat. Kerusuhan, mogok, dan demonstrasi pecah di mana-mana.
Pemerintahannya ambruk pada Januari 1979, sehingga memaksa Pahlavi dan keluarganya melarikan diri.
Baca juga: Pasukan Taliban dan Iran Bentrok di Perbatasan, 1 Orang Tewas
Pada 1 Februari 1979, Khomeini kembali ke Iran dan mendapat sambutan gegap gempita. Iran lalu menggelar referendum nasional dan hasilnya ia menang mutlak.
Khomeini resmi menyandang sebagai pemimpin politik dan agama di Iran, gelar yang disematkan kepadanya seumur hidup.
Sementara itu, Pahlavi dan istrinya, Farah, terbang ke Aswan, Mesir, yang digambarkan sebagai perjalanan “hiburan” dan sekaligus untuk berobat.
Dari Mesir, Pahlavi menetap di Maroko, Bahama, Meksiko, sebelum meninggal dunia karena kanker di Kairo, Mesir, pada 27 Juli 1980.
Khomeini menjabat sebagai pemimpin tertinggi Iran hingga ia meninggal pada 4 Juni 1989.
Baca juga: Putin Tiba di Iran dalam Kunjungan Langka ke Luar Negeri Pasca Invasi ke Ukraina, Ini Agendanya