KOMPAS.com - Pelarian Gotabaya Rajapaksa, menambah panjang daftar kepala negara yang melarikan diri dari negaranya setelah akhir pemerintahan yang kacau.
Setelah aksi protes besar-besaran selama berbulan-bulan, Gotabaya Rajapaksa akhirnya melarikan diri dari Sri Lanka.
Dia terbang ke Maladewa sebelum ke Singapura pada pertengahan Juli 2022.
Dari Singapura dia mengirim surat pengunduran diri sebagai presiden Sri Lanka. Belum jelas sampai kapan dia menetap di sana.
Pemerintah Singapura hanya menyatakan bahwa Rajapaksa berkunjung “dalam kapasitas pribadi”. Sudah ada permintaan kepada kejaksaan Singapura untuk menangkap Rajapaksa atas perannya dalam perang saudara.
Muncul juga laporan dia mungkin akan mengasingkan diri ke Arab Saudi atau Uni Emirat Arab.
Berikut beberapa di antara pemimpin negara yang melarikan diri dan bagaimana nasib mereka setelah hengkang, sebagaimana dilansir dari BBC Indonesia:
Baca juga: Presiden Baru Sri Lanka Tak Berharap Rajapaksa Pulang Kampung
Pada 1986, Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan, mendesak Presiden Filipina Ferdinand Marcos, untuk mundur dan menerima tawaran mengasingkan diri ke Hawaii.
Nasihat ini dikirim setelah terjadi aksi protes besar-besaran menentang Marcos, setelah dia mengeklaim menang pemilu sedangkan banyak pihak meyakini pemilu berlangsung curang.
Guru besar ilmu politik di Northwestern University, Abel Escriba-Folch, mengatakan tawaran Reagan untuk Marcos bisa dipahami karena Filipina adalah bekas jajahan AS.
Selain itu juga ada alasan strategis lain. “Marcos adalah sekutu anti-komunis penting ... dia menerima dukungan ekonomi dan militer yang besar dari Amerika,” ujar Escriba-Folch.
Lebih dari itu, tawaran pengasingan diri dimaksudkan agar peralihan kekuasaan dari diktator ke pemerintahan berikutnya bisa berjalan mulus.
Pemerintahan Marcos diwarnai oleh pembunuhan lawan-lawan politik, pelanggaran besar-besaran hak asasi manusia dan korupsi.
Yang paling terkenal adalah skandal belanja fantastis sang istri, Imelda, ketika jutaan rakyat hidup miskin dan negara dililit utang yang menggunung.
Baca juga: Kembalinya Dinasti Marcos di Filipina: Anugerah untuk China, Canggung bagi AS
Marcos akhirnya tumbang pada 25 Februari 1986 dan melarikan diri ke Hawaii. Ia menetap di sini sampai meninggal dunia pada 28 September 1989.
Noda hitam yang ditorehkan Marcos di lembaran sejarah Filipina ternyata tak menghalangi keluarganya untuk tampil kembali di panggung politik negara tersebut.
Anaknya, Ferdinand Marcos Jr, lebih dikenal dengan Bongbong, menang besar dalam pemilu Mei 2022 dan telah dilantik menjadi presiden, sekaligus melanjutkan dinasti politik yang dirintis sang ayah.
Iklim politik di tiap negara berbeda-beda, sehingga ada pemimpin negara yang lebih sering mengasingkan diri dibandingkan pemimpin di negara lain. Ini yang dialami politisi kenamaan Pakistan, Benazir Bhutto.
Ia dipaksa mengasingkan diri dua kali. Dan dua-duanya memberinya kesempatan untuk menjadi perdana menteri: 1988-1990 dan 1993-1996.
Baca juga: Detik-detik Terbunuhnya Benazir Bhutto, Tokoh Wanita Pakistan
Di puncak popularitasnya, tak lama setelah untuk pertama kalinya menang pemilu, ia adalah salah satu pemimpin perempuan paling dikenal di dunia. Rapat-rapat akbar yang ia hadiri selalu penuh sesak.
Namun dua kali pula ia harus dipecat oleh presiden dengan tuduhan korupsi. Dia meninggal dunia dalam bom bunuh diri pada 2013, bersama sang ayah dan dua saudara laki-laki.
Tokoh yang dua kali menggantikan Bhutto adalah Nawaz Sharif, yang digulingkan militer pada 1999 dan mengikuti jejak Bhutto dengan mengasingkan diri ke Arab Saudi.
Selang 14 tahun kemudian, Sharif memimpin kekuatan oposisi dan memenangkan pemilu untuk ketiga kalinya.
Pada 2017, ia dipaksa mengakhiri karier politik setelah Mahkamah Agung melarangnya menjadi pejabat publik menyusul pengungkapan Panama Papers. Di dokumen itu, Sharif dituduh menyembunyikan kekayaan keluarga.
Baik Bhutto maupun Sharif sama-sama dipaksa mengasingkan diri oleh jenderal bernama Pervez Musharraf, yang juga harus pula mengasingkan diri.
Baca juga: Pakistan Diambang Kerusuhan Sipil Setelah Penggulingan Imran Khan, Apa yang Terjadi?
Ruhollah Khomeini dikenal sebagai tokoh agama Iran yang menentang, dan kemudian menggantikan rezim pro-Barat pimpinan Shah Mohammed Reza Pahlavi.
Saat ia berada di tampuk kekuasaan, Khomeini mengubah negara menjadi Republik Islam dan lahirlah Iran seperti yang dikenal sekarang.
Baik Khomeini dan Pahlavi sama-sama pernah berada di pengasingan. Bagi Khomeini, ini terjadi pada 1964 hingga 1979.
Kritiknya yang tajam membuat ia harus mengasingkan diri ke Turki, Irak, dan kemudian Perancis. Dari sana, dia masih menyerukan para pendukungnya agar menggulingkan pemerintahan Pahlavi.
Pada saat yang bersamaan, pemerintahan Pahlavi makin tidak populer di mata rakyat. Kerusuhan, mogok, dan demonstrasi pecah di mana-mana.
Pemerintahannya ambruk pada Januari 1979, sehingga memaksa Pahlavi dan keluarganya melarikan diri.
Baca juga: Pasukan Taliban dan Iran Bentrok di Perbatasan, 1 Orang Tewas
Pada 1 Februari 1979, Khomeini kembali ke Iran dan mendapat sambutan gegap gempita. Iran lalu menggelar referendum nasional dan hasilnya ia menang mutlak.
Khomeini resmi menyandang sebagai pemimpin politik dan agama di Iran, gelar yang disematkan kepadanya seumur hidup.
Sementara itu, Pahlavi dan istrinya, Farah, terbang ke Aswan, Mesir, yang digambarkan sebagai perjalanan “hiburan” dan sekaligus untuk berobat.
Dari Mesir, Pahlavi menetap di Maroko, Bahama, Meksiko, sebelum meninggal dunia karena kanker di Kairo, Mesir, pada 27 Juli 1980.
Khomeini menjabat sebagai pemimpin tertinggi Iran hingga ia meninggal pada 4 Juni 1989.
Baca juga: Putin Tiba di Iran dalam Kunjungan Langka ke Luar Negeri Pasca Invasi ke Ukraina, Ini Agendanya
Idi Amin adalah pemimpin militer yang merebut kekuasaan di Uganda pada 1971.
Pada satu dekade setelahnya, Uganda berada di bawah kekuasaan diktator brutal, di mana terjadi pembunuhan massal dan pengusiran warga Asia.
Dia digulingkan oleh tentara Tanzania dan kelompok-kelompok Uganda di luar negeri pada 1979. Idi Amin kemudian melarikan diri ke Arab Saudi.
Menurut Profesor Escriba-Folch, diktator seperti Idi Amin sering kali menemukan tempat persembunyian di negara yang memiliki hubungan erat, baik secara historis, politis, militer, maupun ekonomi.
Saudi bersedia menampung Idi Amin, tokoh yang diyakini bertanggung jawab atas tewasnya 400.000 rakyat Uganda. Dia hidup tenang di Saudi sampai meninggal dunia pada 2003.
Baca juga: Profil Idi Amin, Diktator Militer Penjagal Uganda
Saudi tak hanya negara tujuan para pemimpin negara yang melarikan diri. Negara di Eropa yang menampung pelarian sejumlah pemimpin negara adalah Perancis, yang menerima mantan presiden Haiti Jean-Claude Duvalier, lebih dikenal dengan sebutan "Baby Doc".
Dia baru berusia 19 tahun, ketika menerima gelar presiden seumur hidup dari sang ayah, Francois Duvalier atau "Papa Doc", yang memerintah Haiti sejak 1957.
Sama seperti ayahnya, dia disokong oleh milisi brutal Tontons Macoutes untuk menguatkan cengkraman atas negara kepulauan Karibia itu. Selama kekuasaannya, diperkirakan 20.000 hingga 30.000 rakyat Haiti tewas.
Setelah digulingkan oleh kekuatan rakyat pada 1986, dia menghabiskan waktu 25 tahun di pengasingan, awalnya di Perancis selatan.
Situasi berubah setelah bank Swiss membekukan rekeningnya pada 1986. Dia juga kehilangan sebagian besar kekayaan ketika bercerai dengan istrinya pada 1993.
Setelah ini, ia tinggal di satu apartemen kecil di Paris dan menggantungkan sumbangan untuk bertahan hidup.
Pada 2011, ia kembali ke Haiti. Meski menghadapi tuduhan korupsi dan penggelapan uang negara, dia dibolehkan hidup tenang di pinggiran ibu kota Port-au-Prince sampai ia meninggal pada 2014 karena serangan jantung.
Baca juga: Kekerasan Geng di Haiti Makin Gawat, Resolusi PBB Sepakat Hambat Senjata Masuk
Dalai Lama mengasingkan diri setelah China melancarkan penumpasan brutal di Tibet pada 1959.
Sejak itu, atas pemberian suaka oleh Jawaharlal Nehru, Dalai Lama tinggal di India. Nehru, yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri tak mengindahkan peringatan pemimpin China, Zhou Enlai.
Menurut pakar politik Madhav Nalapat, kesediaan India menerima Dalai Lama menjadi akar ketidakpercayaan antara India dan China, yang berlangsung hingga sekarang.
“Keputusan Nehru tidak menerima permintaan China adalah era penting (dalam hubungan China-India). Keputusan untuk menerima secara terbuka Dalai Lama menciptakan rasa saling tidak percaya antara India dan China yang berlangsung bahkan hingga sekarang,” kata Nalapat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.