KOMPAS.com - Ketika Finlandia dan Swedia mengumumkan minat mereka untuk bergabung dengan NATO, kedua negara Nordik ini diharapkan akan segera diterima sebagai anggota aliansi pertahanan.
Tetapi bergabung dengan NATO membutuhkan persetujuan konsensus dari semua anggota yang ada.
Turki, yang jadi salah satu anggota kelompok yang paling penting secara strategis dan kuat secara militer, tidak senang atas bergabungnya kedua negara itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun saat ini seolah memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan aliansi NATO.
Baca juga: Munculkan Rasa Aman, Perusahaan Ini Luncurkan Bir Bertema NATO
Dilansir CNBC, Erdogan telah memblokir upaya awal NATO untuk mempercepat aplikasi Finlandia dan Swedia, dengan mengatakan keanggotaan mereka akan menjadikan aliansi itu "tempat di mana perwakilan organisasi teroris terkonsentrasi."
Pada 2022, NATO telah diperluas untuk mengizinkan tiga negara bekas Soviet dan semua negara bekas Pakta Warsawa.
Hal itu telah membuat mengirim diplomat Barat bekerja agar Turki berpihak, karena Ankara menyajikan daftar keluhan kepada duta besar NATO tentang masalahnya dengan negara-negara Nordik, khususnya Swedia.
Lalu, apa keluhan Turki terhadap Swedia dan Finlandia?
Baca juga: Rusia Akan Bangun Pangkalan Militer Baru sebagai Balasan untuk Rencana Perluasan NATO
Ketika Erdogan berbicara tentang "teroris" dalam konteks ini, yang dia maksud adalah Partai Pekerja Kurdi atau PKK, sebuah gerakan separatis Marxis Kurdi yang telah memerangi pasukan Turki terus-menerus sejak tahun 1980-an.
Ini beroperasi sebagian besar di Turki tenggara dan sebagian Irak utara.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.