Pada 2014, wilayah Donetsk dan Luhansk dikuasai kubu separatis pro-Rusia. Namun, baru-baru ini Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan dekrit berisi pengakuan terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka.
Konsekuensinya, pasukan Rusia bisa ditempatkan secara resmi di sana dan pemerintah Rusia bisa membangun pangkalan militer.
Dengan menempatkan pasukan Rusia di kedua wilayah itu, risiko terjadinya perang terbuka semakin tinggi.
Apalagi Rusia telah menuduh Ukraina melakukan "genosida" di bagian timur serta memberikan lebih dari 700.000 paspor di kawasan Donetsk dan Luhansk. Sehingga aksi menyerang Ukraina akan dianggap dibenarkan demi melindungi rakyat.
Baca juga: Kisah dari Perbatasan Ukraina, Merekam Ketakutan dan Ketidakpercayaan saat Invasi Rusia
Secara teori, Rusia bisa saja menyapu Ukraina dari timur, utara, dan selatan guna menyingkirkan pemerintah Ukraina yang terpilih secara demokratis.
Rusia juga bisa mengerahkan pasukan dari Crimea, Belarus, dan perbatasan di bagian timur.
Namun, Ukraina telah membangun Angkatan Bersenjata mereka selama beberapa tahun terakhir. Militer Ukraina juga sudah merekrut ratusan ribu orang untuk bergabung dengan pasukan cadangan.
Pejabat militer Amerika Serikat Mark Milley menilai besaran pasukan Rusia akan membuat konflik di kawasan padat permukiman "mengerikan".
Putin juga punya pilihan lain: menerapkan larangan terbang atau memblokade pelabuhan-pelabuhan Ukraina, atau menempatkan senjata nuklir di Belarus, tetangga Ukraina.
Dia pun bisa melancarkan serangan siber. Laman-laman resmi pemerintah Ukraina tidak berfungsi pada Januari dan bank-bank terbesar Ukraina mengalami serangan siber pada pertengahan Februari.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Terjadi Karena Apa?
Rusia membuat tonggak sejarah ketika mengultimatum NATO dan menuntut agar tiga permintaan dipenuhi.
Pertama, Rusia ingin ada jaminan hukum bahwa NATO tidak akan menerima keanggotaan lagi.
"Bagi kami, benar-benar harus ada kewajiban untuk memastikan Ukraina tidak akan pernah menjadi anggota NATO," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov.