MELBOURNE, KOMPAS.com - Peter Whitford datang ke Indonesia di tahun 1970-an sebagai drummer dan berharap akan menjadi kaya secara materi dari musik.
Namun setelah tinggal lebih dari dua tahun di Indonesia, ia justru mendapatkan banyak kekayaan jiwa dan pengalaman.
Kecintaannya kepada Indonesia masih ia miliki hingga sekarang.
Baca juga: Cerita WNI di Finlandia: Penganggur Dapat Rp 13 Juta Sebulan, Tidak Ada Copet
Peter yang berusia 71 tahun berjumpa dengan ABC Indonesia secara tidak sengaja.
Di satu hari di bulan Februari lalu, rekan Helena Souisa bersama suaminya sedang berjalan-jalan ke Sorrento, wilayah pantai berjarak sekitar 62 km dari pusat kota Melbourne.
Hellena kemudian didekati oleh Peter karena merasa akrab dengan bahasa yang didengarnya.
Baru beberapa pekan kemudian, saya mengunjungi Peter di rumahnya untuk lebih mengenal sosoknya.
Peter ternyata memiliki banyak pengalaman menarik dan menurutnya banyak memberi manfaat bagi kehidupannya.
"Indonesia mendewasakan saya," kata Peter, saat saya berkunjung ke rumahnya di kawasan Glen Iris.
Baca juga: Seperti Apa Kehidupan di Negara Paling Bahagia Sedunia? WNI di Finlandia Bercerita...
Peter mengaku tidak pernah menduga menemukan jalan hidupnya ke Indonesia.
Di tahun 1970, saat berusia 20 tahunan, Peter sedang berada di Singapura bermain musik sebagai penabuh drum.
Saat itu Indonesia baru saja beberapa tahun berada di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin presiden Suharto.
Suatu hari, salah seorang pengurus Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong), sebuah organisasi di bawah Partai Politik Golkar, berkenalan dengan beberapa pemain musik yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat yang sedang berada di Singapura, termasuk Peter, yang satu-satunya yang berasal dari Australia.
Akhirnya Peter dan sembilan rekannya yang berasal dari berbagai negara mendirikan sebuah grup band bersama 'The Prophecy', dengan aliran musik rock atau juga dikenal dengan istilah underground.
Namun sebenarnya kedatangan mereka ke Indonesia tidaklah resmi, karena mereka tidak memiliki izin kerja.
Baca juga: WNI di AS Latihan Menembak untuk Hadapi Sentimen Anti-Asia
"Paspor kami juga ditahan dan kami sempat berurusan dengan pihak imigrasi atau polisi ketika harus manggung di kota lain," kata Peter mengenang keberadaan mereka.
Janji untuk bermain di klub malam tersebut tidak menjadi kenyataan karena berbagai sebab, antara lain mereka tidak bisa memberikan jaminan bagi masuknya peralatan musik mereka dari Singapur.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.