KOMPAS.com - Aksi unjuk rasa yang berujung bentrok masyarakat sipil dan aparat kini terjadi di Rusia. Ribuan pendukung tokoh oposisi turun ke jalan menentang pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin, pada Sabtu (23/1/2021).
Berbeda dengan demo rusuh di Gedung Parlemen Amerika Serikat (AS), massa tidak hanya menyerbu ibu kota Moskwa. OVD Info melaporkan ratusan orang ditangkap di kota-kota timur jauh Rusia seperti di Siberia dan Ural.
Protes massal ini merupakan jawaban atas seruan tokoh oposisi Alexei Navalny yang ditangkap tak lama setelah mendarat di Moskwa pada Minggu (17/1/2021). Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 30 hari kepadanya dengan tuduhan melanggar ketentuan pembebasan bersyarat.
Meski berada di bui, perlawanan terhadap Putin ternyata tidak berhenti. Pada Selasa (19/1/2021) The Anti-Corruption Foundation miliknya merilis video di YouTube tentang “Istana Putin” yang dituding sebagai “suap” terbesar dalam sejarah.
Hingga Sabtu (23/1/2021), video investigasi berdurasi hampir dua jam tersebut sudah ditonton di Youtube sebanyak 70 juta kali.
Laporan tersebut menuduh properti ini terletak di sepanjang pantai Laut Hitam selatan Rusia, berukuran 39 kali Monaco, dengan luas 17.691 meter. Pembangunannya diklaim menelan biaya 1,35 miliar dollar (Rp 19 triliun).
Juru kampanye antikorupsi Alexei Navalny telah lama menjadi tokoh paling menonjol dari oposisi Rusia yang melawan Putin.
Baca juga: Alexei Navalny Ditahan Rusia Saat Mendarat di Moskwa
Ketika dia naik ke panggung nasional pada 2010, Navalny membawa jenis oposisi baru terhadap politik Rusia.
Sebagai pengacara, Navalny menantang perusahaan energi Rusia yang besar. Dia membeli saham perusahaan itu dan dengan demikian mendapatkan hak untuk menghadiri rapat pemegang saham.
Dia menggunakan akses itu untuk menentang kepemimpinan perusahaan dan merilis dokumen yang menunjukkan penyimpangan.
Kemudian, pria yang sempat mengenyam pendidikan di Yale AS ini membentuk The Anti-Corruption Foundation yang mengumpulkan laporan warga tentang praktik korupsi.
Navalny memperkuat perjuangan anti korupsinya pada 2011. Dia menyebut Partai Rusia Bersatu besutan Putin penuh dengan "penjahat dan pencuri".
Secara terang-terangan dia menuding Putin sudah menggerogoti kekayaan masyarakat dan bangsa Rusia dengan bentuk "negara feodal" yang memusatkan kekuasaan di Kremlin.
Tidak bekerja sendiri, Navalny menjalin hubungan di berbagai oposisi dengan tujuan mereformasi Putinisme.
Baca juga: Presiden Putin: Alexei Navalny Akan Mati, Jika Rusia Dalang yang Meracuninya
Dia menyuarakan keprihatinan masyarakat umum dan mampu menemukan kesamaan di antara aktivis nasionalis dan liberal. Gerakannya juga mendorong agar Presiden Vladimir Putin disingkirkan melalui pemilihan, sambil mengartikulasikan visi baru untuk Rusia.
Pengacara berusia 44 tahun itu memiliki jutaan pengikut Rusia di media sosial. Banyak di antaranya berusia awal 20-an atau lebih muda.
Secara cerdik timnya menggunakan media sosial dan telah memberi ribuan orang Rusia, baik tua maupun muda, wawasan dan cara baru untuk memprotes pemerintah mereka.
The Anti-Corruption Foundation memproduksi film pendek, "Jangan Panggil Dia Dimon", yang mengecam mantan Presiden dan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev.
Investigasi timnya menunjukkan koleksi sepatu kets Sang Perdana Menteri yang sangat banyak, dan menerbangkan drone di atas kolam bebek tokoh Rusia itu. Eksposur tersebut mengungkap mitos Medvedev sebagai pemimpin yang jujur.
Eksposur berkelanjutan di saluran YouTube Navalny. Siarannya telah intervensi intervensi Rusia dalam pemilihan AS, kegagalan Kremlin untuk memberikan bantuan Covid-19 dan pemilihan umum Rusia yang curang.
Kisah-kisah ini menantang narasi yang disajikan di media pemerintah Rusia, melawan kampanye disinformasi sistematis rezim tersebut.
Baca juga: Navalny Rilis Penyelidikan “Istana Putin”, Ada Kasino dan Strip Club Pribadi di Dalamnya
Selama bertahun-tahun dia telah memimpin protes nasional. Dia adalah salah satu pemimpin protes pertama yang ditangkap ketika demonstrasi menentang Presiden Rusia Vladimir Putin dimulai pada Desember 2011.
Keluar masuk bui bukan hal asing untuknya. Ayah dari dua orang anak ini telah berulang kali ditahan atas tuduhan mengatur pertemuan publik dan aksi unjuk rasa.
Sementara yayasan anti korupsi miliknya dinyatakan bersalah karena melanggar undang-undang "agen asing".
Pada 2013, dia dihukum atas tuduhan korupsi oleh otoritas Rusia. Para pendukungnya mengatakan hal itu dan kasus-kasus lain terhadapnya bermotif politik.
Dia tiba-tiba diizinkan keluar dari penjara untuk berkampanye untuk pemilihan walikota Moskow, di mana dia menjadi runner-up dengan 27 persen suara, di belakang sekutu Putin, Sergei Sobyanin.
Itu dianggap sukses dramatis karena dia tidak memiliki akses ke TV pemerintah, hanya mengandalkan internet dan dari mulut ke mulut.
Navalny dan organisasinya terkenal di Rusia karena melakukan investigasi terperinci dan berdampak besar mengungkap korupsi pejabat Rusia.
Dia mengunggah laporan investigasi korupsi di saluran YouTube dan blognya yang mendapatkan perhatian jutaan orang.
Pada 2018, usahanya menantang Putin secara adil melalui pemilihan suara dijegal. Sebab dia kembali dihukum pengadilan atas tuduhan penggelapan.
Baca juga: Navalny Desak Masyarakat Rusia Bergerak Turun ke Jalan Melawan Putin
Pertarungannya melawan Putin, sekarang menjadi sangat pribadi. Dia menuduh Presiden Rusia, yang berusia 68 tahun itu, memerintahkan agen negara untuk meracuninya pada Agustus 2020.
Dia pingsan dalam penerbangan menuju Siberia dan dilarikan ke rumah sakit di Omsk. Pendaratan darurat itu menyelamatkan hidupnya.
Dia mengalami koma dan sebuah badan amal yang berbasis di Jerman membujuk pejabat Rusia untuk mengizinkannya diterbangkan ke Berlin untuk perawatan.
Akhirnya, pada 2 September, pemerintah Jerman mengungkapkan bahwa tes yang dilakukan oleh militer menemukan "bukti tegas dari racun saraf kimiawi dari kelompok Novichok".
Novichok adalah senjata kimia yang hampir membunuh mantan mata-mata Rusia Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Salisbury, Inggris, pada Maret 2018. Seorang wanita lokal meninggal kemudian karena kontak dengan Novichok.
Baca juga: Alexey Navalny, Lawan Politik Putin, Diracun dengan Varian Baru Senjata Kimia, Bagaimana caranya?
Kremlin telah menyangkal peran negara dalam serangan terhadap Navalny. Putin selalu menghindari isu ini di depan umum dan membantah tuduhan Novichok.
Tetapi Putin mengakui bahwa negara mengawasi Navalny. Putin membenarkan hal itu dengan alasan mata-mata AS membantu Navalny. Putin tidak pernah menyebut nama Navalny terang-terangan, dia hanya menyebutnya "pria itu" atau yang terkini "pasien itu".
Pekerjaan detektif oleh kelompok investigasi Bellingcat menunjukkan Federal Security Service (FSB) sudah lama membayangi Navalny.
Investigasi Bellingcat menyebut agen penerus KGB Uni Soviet tersebut, diduga meracuni Navalny.
Secara dramatis, Navalny kemudian menyamar sebagai pejabat senior keamanan Rusia di telepon dan merekam pengakuan oleh salah satu agen.
Pada Oktober, Uni Eropa menjatuhkan sanksi pada enam pejabat tinggi Rusia dan pusat penelitian senjata kimia Rusia. Mereka dituduh terlibat langsung dalam upaya meracuni Navalny.
Baca juga: Dokter Jerman Ungkap Bukti Alexei Navalny Keracunan Novichok
Saat dalam masa pemulihan di Berlin, perjuangan menegakan demokrasi di Rusia masih genjar dijalankannya. Navalny berkampanye atas nama generasi baru calon perwakilan daerah.
Navalny dan timnya menunjukkan bahwa pemilu Rusia tidak lebih dari sekadar pertunjukan kapasitas negara mengumpulkan suara. Tim Navalny mengungkapkan kurangnya pilihan dan akuntabilitas dalam sistem.
Pada musim panas 2019, strategi ini menyebabkan protes yang signifikan. Kremlin melarang hampir semua kandidat oposisi dalam pemilihan kota Moskow.
Ketika pemerintah menindak demonstran pro-demokrasi, tim Navalny membangun cara berbasis web untuk mengidentifikasi kandidat yang memiliki nilai yang sama.
Baca juga: Keracunan Novichok, Alexei Navalny Tuduh Putin Dalangnya
Masyarakat kemudian didorong untuk mendukung kandidat itu, bahkan jika kandidat tersebut berada di partai yang mereka benci.
Karya terbaru oleh ilmuwan politik Mikhail Turchenko dan Grigorii Golosov menunjukkan bahwa strategi "Smart Vote" milik Navalny, membuat perbedaan nyata dalam pemilihan lokal Rusia pada 2019.
Teknologi ini membantu mengalahkan hampir sepertiga dari kandidat yang berpihak pada Putin di Moskwa. Tim Navalny melakukan hal yang sama dalam pemungutan suara September 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.