"Karena itulah Kementerian Ketenagakerjaan dan Perlindungan Anak mendapat amanat penting dari presiden, antara lain bagaimana mencegah perkawinan anak serta mengurangi kekerasan terhadap anak, dan bagaimana mengurangi pekerja anak," ujar Lenny.
Baca juga: 5 Anak Wakil Asia termasuk Indonesia, Suarakan Dampak Negatif Pandemi Covid-19
Ia kemudian memaparkan bahwa pemerintah pada 2019 telah merevisi regulasi yang mengatur batas usia minimum pernikahan, yaitu dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sebagai upaya untuk mengurangi praktik pernikahan dini.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa pemerintah telah memiliki program mandatori wajib belajar 12 tahun.
"Dengan regulasi yang baru, kami berharap pada akhir 2024 perinikahan anak di Indonesia bisa berkurang secara signifikan. Dan lagi sudah ada aturan wajib belajar 12 tahun, jadi anak-anak harus pergi ke sekolah, tidak untuk menikah dahulu," ucapnya.
Semantara, di Indonesia usia yang diperbolehkan untuk mulai bekerja adalah 15 tahun.
"Anak-anak dapat bekerja, tetapi setelah berusia 15 tahun. Dengan catatan, tidak di bidang berbahaya. Namun, kami mendorong semua orang tua untuk membawa anak-anak mereka ke sekolah dan kemudian mereka dapat menyelesaikan wajib belajar 12 tahun pada usia 18 tahun (dapat bekerja)," ungkapnya.
Baca juga: Kasus Covid-19 Semakin Meningkat, Di Irak Upacara Pemakaman Beralih ke Facebook
Kemudian terkait dengan pemantauan dan perlindungan anak terhadap praktik kekerasan, ia mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan terobosan berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
"Unit ini memberikan pelayanan terintegrasi, mulai dari saat korban datang ke unit akan didiagnosis apakah membutuhkan pelayanan kesehatan atau mungkin pelayanan hukum atau pelayanan lainnya," terangnya.
"Kami memiliki ini di semua provinsi dan beberapa kabupaten termasuk di provinsi Ishak," imbuhnya.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Kementerian PPPA juga telah merelokasi anggaran sebasar 70 persen dari total anggaran kementerian untuk fokus membantu keluarga yang memiliki anak, dalam menghadap kondisi krisis kesehatan saat ini.
"Ini realokasi 70 persen dari total anggaran provinsi kita yang sebelumnya tidak terencana. Tapi, kemudian saat pandemi Covid-19 ada keputusan menteri yang keluar," ucapnya.
"Semoga bisa membantu, bisa membantu semua keluarga yang memiliki anak," imbuhnya.
Berdasarkan data dari World Vision, di wilayah Asia Timur dan Pasifik, 15 juta anak perempuan telah putus sekolah sejak sebelum pandemi Covid-19. Angka ini ditambah dengan 1,2 juta anak perempuan (dari TK sampai SMP) yang mungkin tidak memiliki akses untuk sekolah atau putus sekolah pada tahun depan.
Baca juga: 17 WNI Positif Corona Saat Tiba di Jepang, Sebelumnya Hasil Tes di Jakarta Tunjukkan Negatif
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.