Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Jadinya Jika Trump Menolak Hengkang dari Gedung Putih?

Kompas.com - 11/11/2020, 15:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

"Ya, saya sudah memikirkannya," jawab Biden, dengan menambahkan bahwa dirinya yakin dalam situasi tersebut militer bakal berwenang mengusir Trump dari Gedung Putih.

Keyakinan Biden bahwa para pemilih, bukan kandidat, yang menentukan hasil pemilu ditegaskan oleh tim kampanyenya pada Jumat (6/11/2020).

"Rakyat Amerika akan menentukan pemilu ini, dan pemerintah Amerika Serikat sangat mampu mengawal penerobos keluar dari Gedung Putih," kata tim kampanye Biden.

Boleh jadi Marshal AS atau Dinas Pengamanan Presiden yang bertugas mengawal Trump keluar dari kediaman presiden.

Baca juga: Dukung Trump, Menlu AS Tolak Kemenangan Biden dalam Pilpres AS

Dinas Pengamanan Presiden atau Secret Service adalah sebuah institusi yang tak hanya bertanggung jawab atas keamanan presiden, tapi juga punya kewajiban dalam hukum untuk melindungi semua mantan presiden.

Institusi tersebut akan terus melindungi Trump setelah 20 Januari 2021.

Sejak proyeksi kemenangan Biden dalam pemilu AS semakin jelas dan kemenangannya bakal diumumkan, Secret Service telah meningkatkan pengamanan terhadap sang presiden terpilih.

Bahkan, pengamanan terhadap Biden sudah mencapai taraf "pengamanan presiden", walau Trump berkeras Partai Demokrat telah kalah.

Baca juga: Biden Sebut Trump Memalukan karena Menolak Hasil Pilpres AS

Skenario yang tidak terpikirkan?

Jika situasi paling ekstrem terjadi, dan Trump tetap menolak hengkang dari Gedung Putih, mungkin perlu mengevaluasi loyalitas pasukan pengamanan terhadap presiden.

BBC bertanya kepada sejumlah pakar apakah mungkin Trump mencoba menggunakan pasukan keamanan negara untuk mempertahankan kekuasaan secara ilegal.

"Akan sulit dan akan menghancurkan norma-norma penting bagi seorang presiden untuk menyalahgunakan kekuasaan demi mempertahankan jabatan setelah tampak kalah dalam pemilu. Namun, bukannya itu tidak terbayangkan," kata Professor Dakota Rudesill, pakar kebijakan keamanan nasional dan legislasi yang berafiliasi dengan Ohio State University di AS kepada BBC.

"Tindakan itu bakal menimbulkan kerusakan besar pada negara, pada prinsip-prinsip penting mengenai hubungan sipil-militer, dan pada masa depan demokrasi di dunia," tambahnya.

Bagaimanapun, kata Rudesill, dalam pandangannya, skenario Trump mempertahankan kekuasaan dan disokong pasukan keamanan, tidak mungkin terjadi.

Baca juga: Biden Siapkan Pemerintahan Transisi, Trump Lanjutkan Gugatan Hukum

Rudesill menambahkan personel militer bersumpah setia pada konstitusi, bukan pada politisi yang sekarang menjabat.

"Dan perwira dengan kedudukan militer tertinggi di negara ini, Jenderal Mark Milley selaku Kepala Staf Gabungan, telah berulang kali mengatakan militer tidak punya peran dalam pemilu ini," lanjut Rudesill.

Rudesill bukanlah satu-satunya pakar yang mengkaji topik ini. Ahli lainnya adalah Keisha Blaine, profesor dari University of Pittsburgh yang merupakan pakar kajian gerakan protes sosial.

"Fakta bahwa kita harus bertanya kepada diri kita, apakah pasukan bersenjata akan turun tangan dalam pemilu, mengungkap banyak hal mengenai kondisi menyedihkan di negara kita," papar Blaine kepada BBC.

"Empat tahun lalu, banyak orang Amerika yang tidak memikirkan hal ini. Namun, setelah melihat Trump mengerahkan personel federal [dalam kericuhan] di Portland dan Washington dalam beberapa bulan terakhir, hal ini menjadi kerisauan serius," kata Blaine.

Baca juga: Mengapa Trump Pecat Menhan AS Saat Masa Berkuasanya Tinggal 72 Hari Lagi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com