Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dihantam Pandemi dan Krisis Parah, Warga Miskin Myanmar Makan Tikus

Kompas.com - 25/10/2020, 09:48 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

YANGON, KOMPAS.com – Ketika gelombang pertama virus corona melanda Myanmar pada Maret, Ma Suu (36) menutup kios saladnya.

Dia lantas menggadaikan perhiasan dan emasnya untuk membeli makanan agar bisa mencukupi kebutuhan ehari-hari.

Saat gelombang kedua Covid-19 menghantam Myanmar, dan pemerintah meminta rakyatnya untuk tinggal di rumah pada September, Ma Suu kembali menutup kiosnya.

Dia mulai menjual barang-barang yang tersisa untuk bertahan hidup seperti pakaian, piring, dan panci miliknya sebagaimana dilansir dari New York Post, Jumat (23/10/2020).

Suami Ma Suu, yang biasa bekerja di bidang konstruksi, juga tidak dapat bekerja karena kehilangan pekerjaan.

Baca juga: Tentara Myanmar Buka-bukaan soal Genosida Rohingya: Tembak Semua dan Perkosa

Karena tidak ada yang tersisa untuk dijual suaminya tersebut terpaksa berburu hewan di saluran air di daerah kumuh tempat mereka tinggal, pinggiran kota terbesar Myanmar, Yangon.

“Orang-orang memakan tikus dan ular. Tanpa penghasilan, mereka harus mengambil itu untuk memberi makan anak-anak mereka,” kata Ma Suu sambil menangis.

Mereka tinggal di Hlaing Thar Yar, salah satu lingkungan termiskin Yangon.

Berbekal senter, para warganya juga berburu hewan malam di semak-semak untuk mengisi perut yang keroncongan.

Dengan lebih dari 40.000 kasus virus corona terkonfirmasi dan 1.000 kematian, Myanmar menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang paling buruk terkena wabah Covid-19.

Baca juga: Militer Myanmar Bantah Pengakuan 2 Tentara tentang Rencana Pemusnahan Muslim Rohingya

Tindakan lockdown di Yangon telah menyebabkan ratusan ribu orang, seperti Ma Suu, kehilangan pekerjaan dan hanya sedikit yang memiliki dukungan finansial untuk melanjutkan hidupnya.

Pejabat lokal Nay Min Tun mengatakan 40 persen rumah tangga di Hlaing Thar Yar telah menerima bantuan.

Namun, banyak di antara mereka yang kehilangan pekerjaan dan orang-orang menjadi lebih putus asa.

Myat Min Thu, anggota parlemen partai yang berkuasa untuk daerah tersebut, mengatakan bantuan pemerintah dan sumbangan dari kantong pribadi sedang didistribusikan.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa tidak semua orang mendapatkan bantuan tersebut.

Baca juga: 2 Tentara Myanmar Mengaku menjadi Pelaku Pembantaian Rohingya 2017

Krisis telah membayangi pemilihan umum Myanmar yang direncanakan pada 8 November.

Meski demikian, Aung San Suu Kyi diperkirakan masih akan memenangi pemilihan umum dengan selisih suara yang cukup.

Tak Ada yang Lain Selain ke Pasar

Bahkan sebelum pandemi, sepertiga dari 53 juta orang Myanmar dianggap "sangat rentan" untuk jatuh ke dalam kemiskinan.

Meskipun baru-baru ini, ada kemajuan setelah negara itu bangkit dari pemerintahan junta militer yang menghancurkan selama beberapa dekade.

Sekarang, tekanan finansial semakin mengancam untuk menjerumuskan banyak orang kembali ke dalam kemiskinan atau menekan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Baca juga: Warga Muslim dan Hindu Myanmar Tidak Punya Hak Pilih

Pada September, Bank Dunia memprediksi kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan meningkat untuk pertama kalinya sejak 20 tahun terakhir karena Covid-19.

Sekitar 38 juta orang diperkirakan akan tetap berada atau didorong kembali ke dalam jurang kemiskinan.

Pemerintah Myanmar telah memberikan paket makanan satu kali dan hibah uang tunai sebanyak tiga kali masing-masing 15 dollar AS (Rp 219.000) kepada rumah tangga miskin.

Paket tersebut adalah bantuan agar rakyat miskin dapat kembali menyambung hidupnya. Namun mereka mengatakan bantuan tersebut gagal.

Sebuah survei yang dilakukan ONow Myanmar menemukan bahwa sekitar 70 persen dari 2.000 orang yang disurvei telah kehilangan pekerjannya.

Baca juga: Oknum Militer Myanmar Bunuh Wanita tak Bersenjata, Warga Karen Tuntut Militer Pergi

Lebih dari seperempat di antaranya terpaksa berutang untuk membeli makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.

Sektor-sektor yang mendorong industralisasi di Myanmar, termasuk garmen dan pariwisata, telah terhenti.

Gerard Mccarthy, seorang peneliti di Asia Research Institute Singapura, mengatakan banyak keluarga yang sudah berutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Banyak yang harus melunasi pinjaman ini sebelum mereka dapat mulai mengeluarkan uang untuk keperluan apapun,” kata Mccarthy.

Seorang sejarawan Myanmar, Thant Myint-U, mengecam karena tidak adanya jaring pengaman sosial yang layak dan runtuhnya sistem kesejahteraan tradisional desa.

“Bagi puluhan juta orang miskin Myanmar, tidak ada yang lain selain ke pasar, yang pada saat yang baik memberikan peluang untuk pekerjaan informal di kota atau migrasi ke luar negeri tetapi selama masa sulit meninggalkan yang termiskin dengan hanya memiliki sedikit baju di punggung mereka,” kata dia.

Baca juga: Impian Para Penambang Batu Giok Myanmar yang Lenyap karena Longsor

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Global
Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Global
3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

Global
Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Global
China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

Global
AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

Global
9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

Global
Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Global
ICC Didesak Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

ICC Didesak Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

Global
143 Negara Dukung Palestina Jadi Anggota PBB, AS dan Israel Menolak

143 Negara Dukung Palestina Jadi Anggota PBB, AS dan Israel Menolak

Global
AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

Global
[POPULER GLOBAL] Netanyahu Tanggapi Ancaman Biden | Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza Gagal

[POPULER GLOBAL] Netanyahu Tanggapi Ancaman Biden | Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza Gagal

Global
Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok sebagai Pecundang...

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok sebagai Pecundang...

Global
Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com