Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Muslim dan Hindu Myanmar Tidak Punya Hak Pilih

Kompas.com - 29/08/2020, 18:03 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Editor

KOMPAS.com - Sebagian besar etnis mayoritas di Myanmar tidak bisa mengikukti pemilu karena kewarganegaraannya tidak diakui pemerintah. 

Khususnya, mereka yang beragama Isla, situasinya semakin buruk ketimbang di era kekuasaan junta militer.

Lima juta kaum muda Myanmar bersiap mencoblos untuk kali pertama dalam pemilihan umum legislatif, November mendatang.

Tapi bagi May Thandar Maung situasinya berbeda. Penyebabnya, remaja perempuan berusia 18 tahun itu adalah seorang muslim.

"Dengan status agama saya, saya tidak bisa mendapatkan kartu tanda penduduk,” kata dia kepada AFP di Meiktila.

Dia mengeluhkan betapa pejabat lokal menunda permohonannya selama lebih dari setahun, sementara milik temannya yang beragama Buddha diproses cepat.

Ironisnya, Meiktila pernah menjadi ladang kerusuhan berdarah antar-warga pada 2013.

Baca juga: Debar-debar Pengungsi Rohingya

Negeri berpenduduk mayoritas penganut Buddha itu diperkirakan bakal mengembalikan partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), ke tampuk kekuasaan pada 8 November mendatang.

Pemilu ini adalah kali kedua Myanmar menggelar pesta demokrasi sejak berakhirnya kekuasaan junta militer tahun 2011 silam.

Warga etnis Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh atau di negara bagian Rakhine dipastikan tidak akan mendapat hak mencoblos.

Sementara warga muslim dari etnis lain, meski diakui sebagai warga negara, tetap kesulitan mendapat kartu identitas.

Baca juga: Sempat Dikira Tenggelam, 26 Pengungsi Rohingya Ditemukan Sembunyi di Semak-semak

Diskriminasi anti-muslim

Warga muslim mengeluhkan praktik korupsi, di mana mereka harus membayar ratusan Dollar AS, untuk mendapat KTP.

Tiga anggota keluarga May Thandar Maung harus membayar 370 dollar AS (sekitar Rp 5,38 juta) masing-masing, kata sang ayah, Maung Cho, yang berusia 53 tahun.

Jumlah yang diminta dari warga muslim diklaim jauh lebih besar ketimbang ‘uang teh yang biasa dibayarkan warga mayoritas.

Pengalaman itu digemakan oleh warga muslim di seluruh negeri, kata analis politik David Mathieson di Yangon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com