Sebelumnya, ada persepsi yang sangat nyata bahwa Ardern bisa menjadi perdana menteri satu periode karena ada rasa ketidakpuasan terhadapnya.
Pada masa jabatan pertamanya, Ardern mengandalkan dukungan dari Partai New Zealand First yang populis dan Partai Hijau yang berhaluan kiri-tengah untuk membentuk pemerintahan.
Sekarang, dengan New Zealand First tidak berhasil kembali ke parlemen, dan Partai Hijau tidak diperlukan untuk mencapai mayoritas, ia bisa melakukannya sendiri.
Baca juga: Selandia Baru Adakan Pemungutan Suara untuk Pelegalan Ganja dan Euthanasia
Tapi apakah ia akan melakukannya adalah pertanyaan lain. Gaya kepemimpinan Ardern adalah gaya kepemimpinan yang lebih memilih kompromi dan konsensus.
Ia akan menyadari bahwa meskipun pemilih telah memberinya suara mayoritas, ini lebih karena kekhasan sistem pemungutan suara representasi Proporsional Anggota Dewan Campuran (MMP) - sistem yang meminta orang untuk memilih dua kali, untuk partai pilihan mereka dan untuk elektoratnya, atau konstituensi, Anggota Dewan - daripada popularitasnya.
Partai Buruh terbantu oleh fakta bahwa ribuan suara telah "terbuang percuma" ke partai-partai yang tidak mendapatkan perwakilan. Suara ini diabaikan saat mengalokasikan kursi. Akibatnya, ini berarti Partai Buruh bisa mengamankan mayoritas di Parlemen hanya perolehan suara di bawah 50 persen.
Kemungkinan besar hasil pemilu tahun 2020 ini adalah penyimpangan, dan tidak akan menyebabkan perubahan permanen dalam budaya politik Selandia Baru.
Pada pemilu berikutnya, Partai Buruh mungkin harus bergantung lagi pada Partai Hijau atau partai lain untuk mempertahankan kekuasaan.
Baca juga: PM Selandia Baru Jacinda Ardern Berjanji Mundur jika Kalah Pemilu
Jika ia mengambil perspektif yang lebih jangka panjang, maka Ardern mungkin akan cenderung tetap mendukung Partai Hijau dengan menawarkan mereka jabatan dalam pemerintahan berikutnya. Ini akan mencegah kritik dari kiri.
Namun, masih belum pasti apa yang akan dilakukan Ardern dengan masa jabatan keduanya. Kampanye Buruh tidak memiliki ide-ide dan kebijakan baru.
Pada 2017, ia berjanji untuk memimpin "pemerintahan transformasi" namun gagal mewujudkannya selama menjabat. Faktanya, kemiskinan anak dan tunawisma telah memburuk di bawah pemerintahannya.
Meski termotivasi oleh keyakinan akan keadilan sosial, Ardern memiliki watak konservatif yang membuatnya enggan menerima jenis kebijakan radikal yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan struktural.
Baca juga: PM Selandia Baru Jacinda Ardern Ungguli Suara Pemilih 2 Hari Jelang Pemilu
Paradoksnya, pendekatan konservatifnya itulah yang membuat banyak orang Selandia Baru memilih Partai Buruh.
Meskipun memiliki mandat terbesar dari setiap perdana menteri dalam sejarah modern, ia akan merasakan kesulitan yang amat sangat dalam mendamaikan tuntutan pemilih kelas menengah yang makmur dengan mereka yang miskin.
Salah satu isu besar selama kampanye adalah usulan Partai Hijau untuk pajak kekayaan. Ardern dengan tegas menolak hal ini, yang membuat frustrasi para pendukungnya dari kaum progresif.
Selama sebagian besar tahun 2020, Selandia Baru disibukkan dengan usaha melawan Covid-19. Keberhasilan Ardern dalam menyatukan "tim lima juta" - acuan untuk populasi negaranya - adalah bukti kemampuannya yang luar biasa.
Akan tetapi setelah virus dalam kendali, perhatian beralih ke masalah lain seperti pengangguran dan perumahan terjangkau. Para pemilih sekarang mengharapkannya untuk mengatasi masalah tersebut. Itu bukanlah tugas yang mudah.
Baca juga: Dihantam 2 Gelombang Virus Corona, Selandia Baru Sukses Atasi Semuanya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.