Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemunduran Palestina Sejak Intifada Kedua pada Tahun 2000

Kompas.com - 28/09/2020, 00:05 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

Sumber AFP

RAMALLAH, KOMPAS.com - Sejak intifada kedua yang meletus pada 28 September 2000, warga Palestina telah menghadapi serangkaian perubahan haluan militer dan kekalahan diplomatik. Tak hanya itu, Palestina juga menghadapi perpecahan internal mereka sendiri.

Berikut ini kompilasi peristiwa yang telah dilalui pemerintahan Palestina sejak intifada kedua meletus pada 28 September 2000.

1. Intifada Al Aqsa

Pada 28 September 2000, pemimpin oposisi sayap kanan Israel Ariel Sharon mengunjungi kompleks masjid Al Aqsa di Yerusalem timur yang dicaplok, sebuah situs yang sangat sensitif dan sakral baik menurut tradisi Islam maupun Yudaisme.

Keesokan harinya, orang Palestina pertama dibunuh. Penasihat pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat menuduh Sharon memicu perang agama.

Intifada pertama melawan pendudukan Israel terjadi pada tahun 1987 di sebuah kamp pengungsi di Jalur Gaza dan berakhir pada tahun 1993 dengan tanda tangan Kesepakatan Oslo.

Baca juga: Dana Bantuan Semakin Turun, Pejabat Palestina Khawatir Itu Akibat Perjanjian Damai Negara Arab-Israel

2. Yasser Arafat dipenjara

Pemberontakan kedua diselingi oleh serangan bunuh diri terhadap target sipil di Israel dan kekerasan menggunakan senjata terhadap pasukan dan pemukim Israel di wilayah pendudukan.

Pada 6 Februari 2001, Sharon menjadi perdana menteri Israel.

Setahun kemudian di bulan Maret dia memimpin serangan Israel terbesar di Tepi Barat sejak 1967 dan menghancurkan bagian utama markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Arafat ditangkap.

Israel mulai membangun tembok keamanan, dan tentaranya menduduki kembali hampir seluruh Tepi Barat.

Aktivis Palestina menjadi sasaran dan para pemimpin kelompok Islam Hamas dibunuh dan ditangkap sebagai bagian dari "operasi likuidasi" Israel.

Intifada kedua berakhir pada Februari 2005, dengan pengumuman bersama oleh Sharon dan Mahmoud Abbas, penerus mendiang Yasser Arafat.

Secara keseluruhan, sekitar 4.700 orang tewas dalam intifada kedua, yang hampir 80 persennya adalah orang Palestina.

Pada bulan September, Israel menarik semua pasukan dan pemukim dari Gaza.

Baca juga: Yasser Arafat, Pemimpin Palestina yang Tak Bisa Dibunuh Israel

3. Faksi Palestina

Pada Januari 2006, Hamas memenangkan pemilihan legislatif Palestina, mengalahkan saingannya Fatah, partai yang dipimpin oleh Abbas.

Pada bulan Juni 2007, Hamas menguasai Gaza setelah pertempuran sengit dengan Fatah, yang tetap berkuasa di Tepi Barat.

Faksi-faksi tersebut menjadikan wilayah Palestina terbagi antara dua kekuatan yang bersaing, dan upaya rekonsiliasi sejauh ini gagal meskipun baru-baru ini Hamas dan Fatah tampak dipersatukan oleh oposisi mereka karena adanya kesepakatan normalisasi Arab-Israel.

4. Kerusuhan Gaza

Pada tahun 2008 Israel meluncurkan serangan udara kemudian serangan darat besar-besaran dalam upaya untuk menghentikan tembakan roket dari Gaza.

Dua operasi mematikan itu dilakukan pada 2012 dan 2014.

Kemudian sejak Maret 2018, warga Palestina mengadakan "Great March of Return" mingguan di Gaza menuntut hak untuk kembali ke rumah mereka yang dicaplok Israel pada akhir 1940-an.

Baca juga: Israel Bom Gaza Setelah Diserang Menggunakan 2 Roket

5. Gedung Putih pro-Israel

Sejak masuk ke Gedung Putih pada tahun 2017, Presiden AS Donald Trump mempertahankan sikap pro-Israel yang kukuh.

Pada bulan Desember Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mengabaikan klaim Palestina atas Kota Suci dan melanggar kebijakan AS selama beberapa dekade.

Kedutaan AS secara resmi dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 14 Mei 2018. Hari itu ditandai dengan bentrokan di Jalur Gaza di mana sekitar 60 pengunjuk rasa Palestina tewas oleh tembakan Israel.

Abbas mengatakan AS tidak bisa lagi memainkan peran bersejarahnya sebagai mediator pembicaraan yang damai.

Pada 28 Januari 2020, Trump mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengahnya yang kontroversial, yang dianggap berpihak pada Israel, tetapi menawarkan jalan kepada Palestina untuk mencapai negara terbatas.

Baca juga: Israel-UAE Berdamai, Ini Jalan Panjang Normalisasi Hubungan Mereka

6. 'Menusuk dari belakang'

Pada 15 September, Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani kesepakatan bersejarah yang menormalisasi hubungan mereka dengan Israel di Gedung Putih.

Kesepakatan penting itu tak sejalan dengan beberapa dekade konsensus Arab bahwa hubungan lebih lanjut dengan negara Yahudi tidak boleh dinormalisasi sampai negara itu menandatangani kesepakatan damai yang komprehensif dengan Palestina.

Berdasarkan kesepakatan itu, Israel setuju untuk "menangguhkan" aneksasi bagian Tepi Barat yang diduduki, tanpa mengatakan berapa lama penangguhannya.

Otoritas Palestina mengecam langkah itu sebagai tindakan yang "menikam dari belakang".

Pada 22 September, Palestina mundur dari persatuan Liga Arab sebagai protes atas kegagalan blok regional itu untuk mengambil sikap terhadap kesepakatan normalisasi Israel-UEA-Bahrain.

Baca juga: Liga Arab Tolak Permintaan Palestina untuk Kecam Normalisasi Hubungan UEA-Israel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com