Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengunjuk Rasa Thailand Marah, Parlemen Tunda Keputusan Reformasi Konstitusi

Kompas.com - 25/09/2020, 10:46 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber AFP

BANGKOK, KOMPAS.com - Anggota parlemen menunda keputusan tentang reformasi konstitusi pada Kamis (24/9/2020), yang memicu kemarahan di antara pengunjuk rasa di luar parlemen yang menuntut perubahan isi piagam militer kerajaan dan reformasi monarki yang tidak dapat disangkal.

Melansir AFP pada Kamis (24/9/2020), anggota parlemen diharapkan memberikan suara untuk membentuk sebuah komite rancangan reformasi sebagai tanggapan atas gerakan pro-demokrasi yang sedang berkembang, yang memobilisasi 30.000 demonstran pada pekan lalu.

Demonstrasi tersebut merupakan kekuatan terbesar dari massa terhadap kerajaan sejak kudeta 2014.

Namun, langkah pembentukan komite rancangan reformasi tersebut ditunda ketika partai yang berkuasa mengusulkan komite parlemen untuk mempelajari lebih lanjut 6 amandemen yang diusulkan massa.

Baca juga: Mulai Berani Pertanyakan Raja Thailand, Anak Muda Ini Jadi Sorotan

Di antara lebih dari 1.000 pengunjuk rasa di luar parlemen, salah seorang demonstran Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree mengatakan bahwa pemerintah berusaha "mengulur waktu" dengan langkah penundaan tersebut.

"Itu menunjukkan ketidaktulusan mereka terhadap rakyat Thailand. Kami tidak bisa menerimanya," kata Ruangprapaikitseree kepada AFP. 

Para pengunjuk rasa berdiri di atas pagar untuk memasang stiker pro-demokrasi tinggi di gerbang yang ditutup di parlemen saat penjaga mengawasi.

Pengunjuk rasa yang lain kemudian menyemprotkan garis stensil pada sebuah plakat, yang telah dipasang selama aksi protes akhir pekan lalu di taman Sanam Luang yang bersejarah.

Baca juga: Plakat Menantang Raja Thailand Dicopot, Demonstran Bersumpah Akan Balas

Apa yang disebut "Plakat Rakyat" itu, lalu dihapus oleh polisi.

Raja Maha Vajiralongkorn duduk di puncak kekuasaan Thailand, didukung oleh militer kerajaan dan klan miliarder kerajaan.

Keluarga kerajaan menikmati dukungan dari sebagian besar kaum konservatif yang lebih tua, puluhan di antaranya berbaris ke parlemen pada Rabu untuk mengajukan petisi dengan 130.000 tanda tangan orang yang menentang perubahan konstitusi.

Raja yang sangat kaya itu menghabiskan sebagian besar waktunya di Eropa, tetapi dia berada di Bangkok pada Kamis untuk memperingati Hari Pangeran Mahidol, meletakkan karangan bunga di patung kakeknya, menurut media lokal.

Gerakan unjuk rasa menentang pemerintah berkuasa diklaim mahasiswa tidak memiliki pemimpin dan terinspirasi oleh pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong.

Dalam demontrasi menyerukan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-O-Cha, mantan panglima militer yang mendalangi kudeta 2014, mengundurkan diri dan agar pemerintah menghentikan "pelecehan" lawan politik.

Baca juga: Mengenal Hukum Lese-Majeste, Lindungi Raja Thailand dari Kritikan

Kritik online dihapus

Menjelang protes, pihak berwenang secara resmi memulai pengaduan hukum terhadap beberapa platform media sosial yang digunakan oleh para demonstran muda yang paham teknologi, untuk meyebarluaskan pesan mereka.

Tindakan telah dimulai terhadap Facebook dan Twitter, karena tidak memenuhi permintaan untuk menghapus materi "ofensif", kata Menteri Ekonomi Digital dan Masyarakat Buddhipongse Punnakunta.

Pada Agustus, Facebook memenuhi permintaan pemerintah untuk menghapus "Royalist Marketplace", sebuah grup yang dibentuk oleh seorang kritikus pemerintah yang diasingkan yang membahas peran monarki dalam masyarakat Thailand dan memiliki lebih dari satu juta anggota.

Baca juga: Mengapa Demonstran Mulai Berani Menantang Raja Thailand? Ini Kronologinya

Namun, sekitar 400 URL yang meminta grup tersebut tetap ada di platform, kata Buddhipongse, menolak untuk mengatakan jika mereka telah ditandai oleh kementeriannya karena mereka mengkritik raja.

"Ini bukan hanya politik, kami memiliki faktor-faktor lain yang tercakup dalam (Aki kejahatan digital/Computer Crimes Act)," katanya kepada AFP.

Facebook menolak berkomentar tentang langkah tersebut, sementara Twitter tidak menanggapi.

Monarki Thailand dilindungi oleh salah satu undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang paling keras di dunia, tetapi beberapa aktivis menyerukan agar undang-undang ini juga dicabut.

Ketika para anggota parlemen berdebat penyelenggara rapat umum, seorang pengunjuk rasa, Siraphop Attohi, yang juga dikenal sebagai "Raptor", membuat pidato dari belakang truk di luar parlemen, menyerukan kepada mereka yang berada di dalam untuk membuat "batasan" konstitusional atas kekuasaan monarki.

"Jika mereka masih melawan, maka pada akhirnya mereka tidak akan mampu menahan arus rakyat," ucap Attohi.

Baca juga: Sehari Setelah Dipasang, Plakat yang Menentang Raja Thailand Dicopot

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com