Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengunjuk Rasa Thailand Marah, Parlemen Tunda Keputusan Reformasi Konstitusi

BANGKOK, KOMPAS.com - Anggota parlemen menunda keputusan tentang reformasi konstitusi pada Kamis (24/9/2020), yang memicu kemarahan di antara pengunjuk rasa di luar parlemen yang menuntut perubahan isi piagam militer kerajaan dan reformasi monarki yang tidak dapat disangkal.

Melansir AFP pada Kamis (24/9/2020), anggota parlemen diharapkan memberikan suara untuk membentuk sebuah komite rancangan reformasi sebagai tanggapan atas gerakan pro-demokrasi yang sedang berkembang, yang memobilisasi 30.000 demonstran pada pekan lalu.

Demonstrasi tersebut merupakan kekuatan terbesar dari massa terhadap kerajaan sejak kudeta 2014.

Namun, langkah pembentukan komite rancangan reformasi tersebut ditunda ketika partai yang berkuasa mengusulkan komite parlemen untuk mempelajari lebih lanjut 6 amandemen yang diusulkan massa.

Di antara lebih dari 1.000 pengunjuk rasa di luar parlemen, salah seorang demonstran Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree mengatakan bahwa pemerintah berusaha "mengulur waktu" dengan langkah penundaan tersebut.

"Itu menunjukkan ketidaktulusan mereka terhadap rakyat Thailand. Kami tidak bisa menerimanya," kata Ruangprapaikitseree kepada AFP. 

Para pengunjuk rasa berdiri di atas pagar untuk memasang stiker pro-demokrasi tinggi di gerbang yang ditutup di parlemen saat penjaga mengawasi.

Pengunjuk rasa yang lain kemudian menyemprotkan garis stensil pada sebuah plakat, yang telah dipasang selama aksi protes akhir pekan lalu di taman Sanam Luang yang bersejarah.

Apa yang disebut "Plakat Rakyat" itu, lalu dihapus oleh polisi.

Raja Maha Vajiralongkorn duduk di puncak kekuasaan Thailand, didukung oleh militer kerajaan dan klan miliarder kerajaan.

Keluarga kerajaan menikmati dukungan dari sebagian besar kaum konservatif yang lebih tua, puluhan di antaranya berbaris ke parlemen pada Rabu untuk mengajukan petisi dengan 130.000 tanda tangan orang yang menentang perubahan konstitusi.

Raja yang sangat kaya itu menghabiskan sebagian besar waktunya di Eropa, tetapi dia berada di Bangkok pada Kamis untuk memperingati Hari Pangeran Mahidol, meletakkan karangan bunga di patung kakeknya, menurut media lokal.

Gerakan unjuk rasa menentang pemerintah berkuasa diklaim mahasiswa tidak memiliki pemimpin dan terinspirasi oleh pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong.

Dalam demontrasi menyerukan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-O-Cha, mantan panglima militer yang mendalangi kudeta 2014, mengundurkan diri dan agar pemerintah menghentikan "pelecehan" lawan politik.

Kritik online dihapus

Menjelang protes, pihak berwenang secara resmi memulai pengaduan hukum terhadap beberapa platform media sosial yang digunakan oleh para demonstran muda yang paham teknologi, untuk meyebarluaskan pesan mereka.

Tindakan telah dimulai terhadap Facebook dan Twitter, karena tidak memenuhi permintaan untuk menghapus materi "ofensif", kata Menteri Ekonomi Digital dan Masyarakat Buddhipongse Punnakunta.

Pada Agustus, Facebook memenuhi permintaan pemerintah untuk menghapus "Royalist Marketplace", sebuah grup yang dibentuk oleh seorang kritikus pemerintah yang diasingkan yang membahas peran monarki dalam masyarakat Thailand dan memiliki lebih dari satu juta anggota.

Namun, sekitar 400 URL yang meminta grup tersebut tetap ada di platform, kata Buddhipongse, menolak untuk mengatakan jika mereka telah ditandai oleh kementeriannya karena mereka mengkritik raja.

"Ini bukan hanya politik, kami memiliki faktor-faktor lain yang tercakup dalam (Aki kejahatan digital/Computer Crimes Act)," katanya kepada AFP.

Facebook menolak berkomentar tentang langkah tersebut, sementara Twitter tidak menanggapi.

Monarki Thailand dilindungi oleh salah satu undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang paling keras di dunia, tetapi beberapa aktivis menyerukan agar undang-undang ini juga dicabut.

Ketika para anggota parlemen berdebat penyelenggara rapat umum, seorang pengunjuk rasa, Siraphop Attohi, yang juga dikenal sebagai "Raptor", membuat pidato dari belakang truk di luar parlemen, menyerukan kepada mereka yang berada di dalam untuk membuat "batasan" konstitusional atas kekuasaan monarki.

"Jika mereka masih melawan, maka pada akhirnya mereka tidak akan mampu menahan arus rakyat," ucap Attohi.

https://www.kompas.com/global/read/2020/09/25/104621670/pengunjuk-rasa-thailand-marah-parlemen-tunda-keputusan-reformasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke