Pilkada sempat kembali sesaat pada 2012 setelah gelombang protes prodemokrasi. Namun pada April 2013, Putin kembali mengendakukan secara langsung melalui undang-undang yang ketat.
Baca juga: Putin Diduga Jadi Dalang Pembunuhan Pemimpin Chechnya di Jerman
Serangkaian demontrasi massal, yang berjuluk Protes Bolotnaya, pecah di Moskow dan beberapa tempat lain di Rusia pada 2011 hingga 2013 guna menuntut pemilu bersih dan reformasi demokratis.
Aksi unjuk rasa ini adalah yang terbesar di Rusia sejak 1990-an.
Pada saat yang sama muncul Arab Spring dan 'revolusi berwarna' di negara-negara tetangga, yang membangkitkan kenangan 1989.
Putin memandang aksi protes ini sebagai kendaraan bagi negara-negara Barat untuk merongrong Rusia.
Perubahan gaya, walau tampilan belaka, diperlukan. Putin lantas bereksperimen dengan liberalisme. Dia menyerukan desentralisasi politik dan janji kepada daerah-daerah untuk mengendalikan ekonomi mereka dengan lebih leluasa.
Kata 'reformasi' diumbar dalam setiap pidato, namun gerakan ini hanya sesaat. Begitu ancaman usai, strategi itu tak lagi dipakai.
Kevakuman kekuasaan pasca-revolusi di Ukraina memberikan celah bagi Putin untuk bermanuver.
Pendudukan Krimea secara cepat pada Februari 2014 adalah kemenangan terbesar Putin sejauh ini dan pukulan telak bagi Barat.
Rusia telah menunjukkan kekuatannya dalam mengambil alih wilayah negara tetangga selagi dunia menyaksikan dan gagal mencegahnya.
Putin punya kekuatan yang cukup untuk menyulitkan Barat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sejak momen itu dia bisa memimpin, menentukan laju, dan menentukan hubungan Rusia dengan Barat.
Krimea adalah serangan terbesar Rusia, namun itu bukan satu-satunya kejadian.
Selama berpuluh tahun, Putin mempraktikkan ekspansi politik Rusia di wilayah terdekat—negara-negara merdeka yang muncul setelah Uni Soviet runtuh dan masih dianggap Rusia sebagai wilayah alaminya, seperti terjadi dalam konflik Georgia (2008).
Putin mampu memanfaatkan kurang lekatnya negara-negara Barat dalam urusan politik luar negeri dan mengubah kelemahan tersebut menjadi keuntungannya.
Intervensi Rusia di Suriah, dengan mendukung pasukan pro Bashar al-Assad, menyimpan keuntungan berlipat baginya.
Di satu sisi, aksinya memastikan tiada negara yang punya kendali penuh terhadap wilayah vital di Timur Tengah. Di sisi lain, dia punya peluang menguji persenjataan baru dan taktik militer.
Hal ini memberikan pesan kuat kepada sekutu-sekutu lama Rusia (selain dinasti Assad) dan negara yang wilayahnya dekat dengan Rusia, bahwa Rusia tidak pernah meninggalkan teman lama.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Tsar Nicholas II, Kaisar Terakhir Rusia
Selama masa kekuasaannya, Putin telah sukses membangkitkan pemikiran lama 'Kolektor Tanah-Tanah Rusia', sebuah konsep feodal yang membenarkan kebijakan ekspansi Rusia.
Dalam konteks ini, mudah dipahami mengapa Krimea dan negara-negara yang wilayahnya dekat dengan Rusia, begitu bermakna bagi Putin.
Beberapa pengamat Rusia, seperti Arkady Ostrovsky, menilai cara-cara Putin bisa berujung pada penciptaan Tsar modern: seorang pemimpin unik Rusia yang berada di atas partai-partai politik.
Hal ini klop dengan keputusan Putin yang memilih menjadi kandidat independen dalam pemilu terakhir.
Hingga sekarang, posisi Vladimir Putin di Rusia tampaknya tidak bisa ditentang. Namun apa yang terjadi setelah mandat keempatnya berakhir pada 2024?
Tiada seorang pun yang bisa memprediksi masa depan, namun Vladimir Putin bisa membuat rencana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.