Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Jaga Hasil Laut Indonesia Timur untuk Keberlanjutan Lingkungan

Kompas.com - 08/12/2022, 19:23 WIB
Silvita Agmasari

Editor

Sumber Antara

KOMPAS.com - Ocean Program Manager Yayasan EcoNusa, Mida Saragih dan alumni Masterchef Indonesia musim 8, La Ode, mengajak masyarakat menjaga ekosistem perairan di Indonesia Timur yang mulai terancam. 

“Masyarakat yang tinggal di pesisir bercerita, beberapa jenis ikan mulai sulit ditemukan, misalnya, napoleon. Ukuran tuna dan tenggiri semakin kecil, wilayah tangkapnya pun semakin jauh,” kata Mida dikutip dari Antara, Kamis (8/12/2022).

Ia menambahkan, hal ini merupakan akibat dari eksploitasi berlebihan sehingga proses regenerasi ikan terganggu.

Apalagi, jika nelayan menggunakan alat tangkap yang merusak seperti bom, cantrang atau pukat, yang tidak bisa menangkap ikan secara selektif.

Baca juga:

Menurut Mida, cerita masyarakat pesisir tentang menghilangnya napoleon terkonfirmasi oleh data pemerintah. 

Berdasarkan data resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), napoleon (Cheilinus undulatus) merupakan salah satu ikan karang yang tergolong berstatus merah di laut Indonesia timur.

Meski demikian, ikan ini masih boleh ditangkap dan disantap dengan catatan hanya dalam ukuran tertentu saja sesuai aturan pemerintah. 

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, ukuran yang boleh ditangkap adalah ikan berukuran lebih kecil dari 100 gram dan berukuran antara 1.000-3.000 gram.

Sementara itu La Ode, yang tinggal di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, dan sehari-hari menyantap seafood segar, bercerita kini dia juga kesulitan menemukan napoleon. 

Ikan napoleon sulit didapatkan di pasar-pasar di Kendari sehingga dia harus mencari ke pulau sekitar, seperti Wakatobi atau Buton.

La Ode juga mengajak pencinta seafood untuk sama-sama menjaga ekosistem laut. Menurutnya, cara paling mudah adalah tidak mengonsumsi hasil laut yang memang belum layak untuk dipanen, misalnya telur kepiting dan bayi gurita.

Ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) hasil tangkapan Umar Papalia, 42 tahun diatas perahu di Desa Waepure, Kecamatan Air buaya, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Minggu (31/11/2021). Sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat ecolabelling Marine Stewardship Council (MSC) pada tahun 2020. Sertifikasi MSC ini merupakan yang pertama di dunia untuk nelayan dengan alat tangkap pancing ulur ikan tuna sirip kuning.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) hasil tangkapan Umar Papalia, 42 tahun diatas perahu di Desa Waepure, Kecamatan Air buaya, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Minggu (31/11/2021). Sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di Pulau Buru, Maluku, berhasil meraih sertifikat ecolabelling Marine Stewardship Council (MSC) pada tahun 2020. Sertifikasi MSC ini merupakan yang pertama di dunia untuk nelayan dengan alat tangkap pancing ulur ikan tuna sirip kuning.

“Itu sama dengan memusnahkan ribuan bibit. Akibatnya, populasi mereka bisa habis,” ujar dia.

Untuk menjaga ketersediaan seafood di alam, sejumlah kelompok masyarakat adat menerapkan aturan adat, yang kemudian sejalan dengan aturan negara.

Sebagai contoh Maluku memiliki praktik sasi, yaitu larangan menangkap hasil laut dalam kurun waktu tertentu, sementara di Sorong, Papua Barat, sistem itu disebut dengan egek.

Baca juga: Perjalanan Lobster dari Ransum Narapidana sampai Jadi Makanan Mewah

“Prinsipnya, setelah masa panen, hasil laut yang masih berada di laut dibiarkan tumbuh dan berkembang dahulu selama beberapa tahun, sebelum waktu panen berikutnya. Saat panen, masyarakat akan menjual hasil laut sesuai kesepakatan bersama,” kata Mita.

“Ketika melakukan tutup egek, mereka mengawasi alat tangkap yang boleh digunakan. Potasium sianida, yang merupakan bius tradisional, dilarang digunakan di wilayah tangkap mereka,” imbuh Mida.

Di samping itu, Mida juga menegaskan pentingnya mengurangi sampah plastik sehingga laut akan lebih bersih. 

Jika masyarakat berpikir kritis apakah ikan yang dibeli telah ditangkap dengan alat yang merusak atau tidak serta hanya mengonsumsi ikan yang ditangkap secara lestari dan layak panen, nelayan terdorong lebih selektif memilih alat tangkap.

“Kita harus menjadi konsumen yang hebat, keren, dan bijak. Pilihan kita sebagai konsumen akan menentukan cara produksi perikanan tangkap dan kesehatan laut,” kata Mida.

Baca juga:

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Foodplace (@my.foodplace)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com