Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Waode Nurmuhaemin
Penulis

Praktisi pendidikan, penulis buku dan novel pendidikan

Menakar Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi Kurikulum Merdeka

Kompas.com - 14/04/2023, 15:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK diluncurkan pada Februari 2022 lalu, Kurikulum Merdeka masih saja disosialisasikan kebanyak sekolah di Indonesia. Sampai saat ini sifatnya masih berupa opsional dan bukan wajib.

Kurikulum yang bertujuan menambal learning loss selama pandemi Covid 19 ini juga bertujuan menaikan rating dan rangking PISA kita yang selalu duduk di peringkat sepuluh terbawah sejak pertama kali tes itu dilaksanakan tahun 2000.

Dua puluh tiga tahun kemudian, belum ada perbaikan signifikan pada sistem pendidikan kita, meski sudah berkali-kali ganti menteri dengan beragam program. Begitulah versi OECD berdasarkan laporan yang dirilis tiga tahunan menyusul hasil-hasil tes PISA.

Sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka sebaiknya memastikan bahwa langkah dalam pembelajaran Kurikulum Merdeka telah dilaksanakan dengan baik.

Dimulai dari asesemen diagnostik yang bertujuan mengetahui dan memetakan kompetensi, kekuatan, kelemahan siswa dan hasilnya digunakan oleh guru sebagai rujukan dalam merencanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dalam proses belajar mengajar.

Di sinilah sesungguhnya inti dari Kurikulum Merdeka. Siswa tidak lagi diperlakukan sama di dalam proses belajar mengajar. Kecepatan belajar siswa tidak lagi diseragamkan.

Timbul satu pertanyaan, jika melihat suasana pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia.

Agar guru bisa memperlakukan siswa sesuai dengan kemampuannya, apakah bisa dilaksanakan dengan efektif di ruang-ruang kelas dengan jumlah siswa sangat banyak, bahkan ada yang lebih dari 30 orang dalam satu kelas?

Kurikulum ini diadopsi dari negara-negara maju yang rata-rata jumlah siswanya sebanyak 20 orang dalam satu kelas.

Apakah di Indonesia sudah demikian penerapannya? Jika tidak, maka yang terjadi adalah tidak ada perubahan dalam model pembelajaran Kurikulum Merdeka dengan kurikulum lama.

Untuk menerapkan kurikulum ini dengan ideal, memang butuh kesiapan infastruktur sekolah yang tidak main-main. Jika jumlah ideal satu kelas adalah 20 orang, maka perlu ada tambahan ruang belajar atau rombel. Tentu saja ada penambahan guru-guru kompeten.

Bagaimana sekolah-sekolah di luar Jawa dan daerah 3T, apakah gurunya sudah memadai? Dengan demikian, perlu membangun infrastruktur yang memadai jika ingin penerapan Kurikulum Merdeka berjalan seperti tujuannya.

Bagaimana mungkin bisa menjalankan pembelajaran berdeferensiasi di kelas-kelas padat? Jika kemudian diakali, hanya dilaksanakan seadanya, lalu untuk apa mengganti kurikulum?

Guru PNS Indonesia yang berjumlah kurang lebih 1.226.460 orang sebagian besar terkonsentrasi di kota. Sementara tulang punggung sekolah di kampung-kampung adalah para guru honorer.

Dengan gaji yang belum mapan, maka guru-guru honorer itu seadanya menerapakan Kurikulum Merdeka, bahkan tanpa asesemen diagnostik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com