Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
Wadan Kodiklatad

Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat

Bersinergi dengan Dunia Kampus

Kompas.com - 31/01/2023, 09:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM beberapa waktu belakangan, saya banyak berkunjung ke berbagai perguruan tinggi (PT), baik di Jawa Barat maupun di daerah lain. Apa yang tampak adalah sebuah kawah gunung berapi yang siap menyemburkan debu vulkanik, guna mendatangkan kesuburan pada tanah di sekitarnya. Tetapi jika tak mampu mengolah dengan baik, hal itu ibarat gunung yang meletuskan larva panas, membakar, dan menghancurkan ekosistem di sekitarnya.

Perguruan tinggi ibarat pedang bermata dua. Pandai mengurusnya, perguruan tinggi akan jadi senjata tajam penghacur berbagai persoalan bangsa. Andai salah mengurus, perguruan tinggi akan menjadi pangkal kemudaratan bagi umat manusia.

Perguruan tinggi sedang menghadapi tantangan besar. Perkembangan teknologi informasi, berbagai dinamika kebijakan, tuntutan peningkatan kualitas, menempatkan kampus harus betul-betul profesional dan matang dalam mengelola manajemennya. Kriteria akreditasi yang semakin ketat dan persaingan para dosen yang harus mengejar kiprah ilmiahnya terus digedor.

Baca juga: Daftar 25 Kampus Top Beasiswa LPDP 2023 Perguruan Tinggi Utama Dunia

Dari sanalah, dituntut bagaimana perguruan tinggi harus menjadi lembaga yang strategis untuk menyiapkan sumber daya yang berkualitas dan berdaya saing global (Sugiarto, 2019).

Sementara itu, dalam garis pengembangan pendidikan, konsep universitas harus memberi jalan bagi pengembangan kecendekiaan para pendidik di perguruan tinggi. Van Dijk dkk (2020), dalam What Makes an Expert University Teacher?, merekam jejak kecendekiaan itu. Meski belum banyak yang padu, untuk mengukur keahlian macam itu, ada kesepakatan umum.

Beberapa indikator, di antaranya, menyebutkan bahwa universitas harus memberi ruang pengembangan para dosen untuk teaching and supporting learning, membangun educational design, merancang assessment and feedback, mengembangkan educational leadership and management, menyediakan educational scholarship and research, mendorong professional development.

Indikator-indikator itu menjadi alat ukur keahlian para pengajar di dalam mengembangkan program studi, fakultas, dan perguruan tinggi mereka. Pada sisi lain, berbagai indikator itu juga menjadi alat ukur bagi pengembangan karier mereka di dunia pendidikan tinggi.

Akan tetapi, kita juga mengenali adanya paradoks di dalam pengelolaan dunia perguruan tinggi. Di satu sisi, perguruan tinggi dipacu untuk memiliki kemampuan manajerial-profesional.

Tetapi di sisi lain, tidak jarang juga civitas akademika “terjebak” dalam rutinitas internal. Mereka seakan terkungkung oleh berbagai kewajiban, akibatnya sibuk mengurusi perbaikan ke dalam.

Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad (mpr.go.id, 27/09/2022) mensinyalir, kebanyakan hasil riset perguruan tinggi tidak termanfaatkan dengan baik. Banyak yang hanya tersimpan saja, ataupun berorientasi agar cepat lulus, ataupun sekedar pemenuhan syarat kenaikan pangkat.

Fenomena di atas tentu menjadi dilema, mengingat perguruan tinggi adalah kawahnya pembentukan generasi muda, wahana untuk menciptakan generasi penerus. Selain itu, perguruan tinggi juga dituntut untuk berkiprah dalam mengatasi berbagai persoalan di masyarakat. Unsur dharma pengabdian masyarakat adalah bukti bahwa mengabdi (dalam artian membantu masyarakat) memang diwajibkan.

Data dari Pangkalan Data (PD) Dikti Kemenristek menyebutkan bahwa di tahun 2020, rata-rata hasil kerja dosen digunakan masyarakat dan pengakuan internasional berada di 6,14 persen. Sementara dosen yang berkegiatan di luar kampus ada di 21,58 persen.

Jika dibandingkan dengan jumlah dosen yang mencapai 306.817 tentu ini jumlah yang sedikit. Apa lagi jika dilihat jumlah mahasiswa (yang juga harus berkiprah di masyarakat), mencapai angka 9.506.013 orang, maka tanggung jawab perguruan tinggi sepertinya memang perlu di maksimalkan.

Saya bukan ingin mencampuri urusan internal perguruan tinggi, tetapi saya ingin menekankan bahwa perguruan tinggi adalah sebuah potensi luar biasa yang bisa dimanfaatkan, asal bisa dikelola dengan baik.

Kelompok mahasiswa adalah kalangan yang terbiasa dengan dunia pendidikan. Mereka digodok dengan metode-metode tersendiri. Di situ ada para dosen yang tentunya memiliki ilmu segudang. Ada profesor, doktor, magister yang semuanya memiliki spesifikasi keilmuan. Dari lembaga ini lahir berbagai pemikiran strategis, calon pemimpin, praktisi, orang-orang yang akan melanjutkan tongkat estafet negara ini.

Teknologi digital, yang dibayang-bayangi suasana pendemi, kini membawa mahasiswa ke alam belajar tatap muka yang berbeda. Mereka kini tidak lagi berhadapan muka dengan para dosennya secara langsung. Mereka kini diberi mediasi, secara online, untuk mendapatkan materi perkuliahan.

Hal ini memberi tugas tertentu kepada para pengajar di perguruan tinggi untuk merancang desain kurikulum tertentu, yang lebih memberi waktu mahasiswa untuk misalnya menikmati ulang perkuliahan dalam bentuk lecture capture, rekaman video. (Banerjee, 2021)

Hal itu adalah sekian tantangan yang harus dihadapi perguruan tinggi.

Interoperabilitas

Stensaker et al. (2017), dalam Strengthening Teaching and Learning in Research Universities: Strategies and Initiatives for Institutional Change, menawarkan bagaimana dorongan kegiatan penelitian bisa mengembangkan kecendekiaan sebuah perguruan tinggi. Bagaimana proses perubahan terdorong, dan memberi jalan bagi saluran dan transformasi kultur di perguruan tinggi.

Potensi yang ada di perguruan tinggi menurut saya sangat bisa dimaksimalkan, asalkan ada pola-pola tersendiri yang akan menjembatani hasil karya mereka ke dunia nyata. Saya menyebutnya interoperabilitas (interoperability), atau membangun sistem saling keterhubungan antara dunia luar kampus dengan internal pergutuan tinggi . Saat ini memang sudah ada “jembatan” yang dibangun yang disebut dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang intinya adalah link and match dunia kerja dengan dunia kampus.

Tetapi, interoperabilitas bukanlah berorientasi kerja atau peluang kerja lulusan. Yang saya maksud adalah kiprah perguruan tinggi dalam mengatasi masalah di masyarakat.

Baca juga: Peringkat 12 Dunia, Militer Indonesia Terkuat di Asia Tenggara

Kita percaya bahwa kalangan perguruan tinggi sudah banyak menghasilkan berbagai riset, inovasi, temuan, dan bahkan teknologi tepat guna. Tetapi pertanyaannya, sampai di manakah semua itu bisa termanfaatkan dan berguna untuk mengatasi masalah? Intinya adalah mengatasi masalah, bukan sekedar termanfaatkan.

Misalnya, saat ini publik didera persoalan besar seperti krisis energi dan bencana alam. Maka seberapa besar hasil karya kaum ilmuwan itu mampu menjawab dan mengatasi masalah tersebut?

Pada titik inilah kita ingin katakan bahwa harus ada pertautan antara lembaga pendidikan dengan stakeholder lain yang mampu membantu mengatasi masalah. Unsur militer adalah salah satunya.

Selama ini, tentara sudah sangat terbiasa dengan berbagai kreasi-kreasi yang akan bisa digunakan untuk memperlancar tugas di lapangan. Karena itu, kalau kita lihat markas tentara, umumnya mereka sudah memiliki kelengkapan sarana prasarana dan infrastruktur, baik fisik maupun non-fisik. Istilah orang Melayu, Tak Perlu Bernafas Keluar Badan, artinya secara mandiri dan kreativitas itu sudah dilakukan.

Jika butuh air bersih, buatlah teknologi air bersih. Jika kebakaran, buatlah teknologi pemadam api, andai ada longsor maka temukanlah formula mengatasinya. Tentara sudah melakukan itu.

Tentu saja, militer bukanlah kelompok segala bisa. Militer juga memerlukan kerja sama dan bantuan orang-orang “ahli”, dan itu bisa saja dari luar atau kelompok masyarakat sipil.

Bagi militer, inovasi itu penting dan kemudian bisa termanfaatkan. Aspek pembinaan teritorial yang dilakukan adalah bagian dari itu. Karena itu, ketika di sebuah daerah ada Babinsa ataupun Koramil, mereka diwajibkan untuk proaktif membantu mengatasi masalah masyarakat, dan bukan semata-mata masalah keamanan saja.

Dengan melihat potensi dan keunggulan perguruan tinggi, saya sangat bersemangat untuk mengatakan, perlu interoperabilitas, perlu sinergi, perlu kolaborasi, termasuk dengan kalangan militer.

Saya adalah orang yang pertama kali akan menyambut baik dan siap memfasilitasi sinergi perguruan tinggi dengan masalah di masyarakat, dan siap berada di garda terdepan untuk mewujudkan hal tersebut. Siap mengembangkan gagasan tentang koneksitas dan kolaborasi.

Kekuatan jejaring adalah kuncinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com