Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Potensi Kuliah Versus APK Perguruan Tinggi

Kompas.com - 17/01/2023, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AGUSTUS 2021 lalu, pengelola perguruan tinggi swasta yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) memprotes Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dianggapnya jor-joran menerima mahasiswa baru melalui tiga jalur seleksi masuk (SNMPTN/SNBP, SBMPTN/UTBK SNBT, dan Mandiri).

Mereka menyebut hal itu sebagai “strategi pukat harimau dengan mengambil semua mahasiswa” (Media Indonesia, 29/11/2017).

Kondisi ini menurut mereka membuat PTS semakin sulit untuk untuk memperoleh mahasiswa baru dan berkonsekuensi pada kesulitan dalam urusan pengelolaan keuangan.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M. Budi Djatmiko dalam diskusi Seleksi Ujian Mandiri PTN Buat Gadung Penerimaan Mahasiswa Baru PTS di Jakarta, kemarin (12/8/2021).

Protes APTISI tersebut merupakan kelanjutan dari kesediaan dan komitmen pemerintah untuk membatasi penerimaan mahasiswa baru oleh PTN. Seperti disampaikan oleh Presiden Jokowi sebelumnya, saat Rembuk Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) di aula Universitas Esa Unggul, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (29/11/2017).

Persoalan “rebutan mahasiswa” ini, menjadi batu kerikil dalam hubungan institusional antara PTN dan PTS. Persoalan ini bisa diselesaikan dengan memperoleh data (angka) penduduk atau warga negara yang memiliki potensi kuliah, bukan berdasarkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK-PT).

Data menunjukkan, APK memperlihatkan tren penurunan pada setiap jenjangnya. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin kecil atau berkurang APK-nya.

Tahun 2022 misalnya, persentase penurunan APK mencapai angka 75,1 persen. APK jenjang SD/sederajat mencapai 106,26 persen.

Pada jenjang SMP/sederajat, APK turun menjadi 92,13 persen (minus 14,13 persen). Pada jenjang SMA/sederajat, APK semakin berkurang/menurun ke angka 85,54 persen (minus 20,72 persen).

Pada jenjang PT, APK Kembali mengalami penurunan secara signifikan menjadi 31,16 persen (minus 75,1 persen) (BPS, 2021).

Penunuran secara berjenjang APK dari SD/sederajat hingga PT menjadikan APK-PT selalu rendah. Dalam lima tahun terakhir (2017—2022) APK-PT rerata 30,6 persen (BPS, 2022).

Jika demikian halnya, maka APK-PT tidak bisa dijadikan dasar untuk melihat jumlah calon mahasiswa yang memiliki potensi untuk kuliah. APK-PT sulit untuk ditingkatkan, selama APK pada jenjang pendidikan sebelumnya rendah atau Angka Putus Sekolah tinggi.

Seperti ditunjukkan oleh data di atas, APK-PT mempresentasikan persentase jumlah penduduk di suatu negara yang melanjutkan pendidikan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

Padahal, mereka yang berada pada usia PT (19—25 tahun) bisa jadi tidak melanjutkan studi/putus sekolah (SMP dan SMA). Sehingga jumlah yang bisa studi lanjut ke jenjang PT pun akan berkurang, karena mereka tidak memiliki “ijazah” SMA/sederajat yang menjadi syarat utama pendaftaran ke PT.

Untuk memperoleh data potensi kuliah, akan sangat adil jika menggunakan data jumlah siswa pada jenjang SMA/sederajat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dari Tahun Akademik berjalan (T-3/4).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com