Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

3 Guru Besar UPI Sampaikan Pidato Kehormatan, Bahas Strategi Otonomi Belajar Bahasa hingga Kesehatan Mental Remaja

Kompas.com - 26/10/2022, 14:44 WIB
Inang Sh ,
A P Sari

Tim Redaksi

Dia menyebutkan, terapi diri (self therapy) menjadi suatu langkah yang harus ditempuh dan paling jitu dengan menggunakan pikiran sendiri.

“Kesadaran diri untuk berpikir menjadi kekuatan yang mujarab dalam memecahkan masalah. Biasanya kegiatan ini dilakukan bagi orang-orang yang merasa yakin bahwa dirinya mampu memecahkan masalah,” sebutnya.

Cece menilai, proses merenung dan berusaha memecahkan masalah sangat mendesak untuk mengurai masalah yang dihadapi.

Baca juga: Guru Besar UPI Jelaskan Pentingnya Strategi Pemasaran Digital untuk Kenali Kebutuhan Pelanggan

“Setidaknya, itu pengalaman saya yang juga dialami secara intersubjektif. Di dalam logika, kita mencoba menelusuri apa gerangan yang menyebabkan kita memiliki masalah,” katanya.

Dia menegaskan, keterampilan memecahkan masalah kehidupan dengan self therapy penting untuk dipelajari setiap orang, terlepas dari kalangan mereka.

“Kita tidak menafikan bahwa kecemasan, kekurangan, kekecewaan, sakit hati, kemarahan, kesedihan, dan berbagai bentuk emosi negatif selalu menggempur kita detik demi detik,” tegasnya.

Namun, lanjut Cece, konsep self therapy sangat luas dan mengacu pada gagasan untuk menangani masalah emosional atau psikologis seseorang, tanpa bantuan terapis.

Dia menjelaskan, self therapy sejatinya mengantarkan manusia untuk kembali pada potensi positif yang mungkin telah lama menunggu untuk dikembangkan.

Potensi tersebut adalah untuk melintasi rintangan, melewati segala kekecewaan, keresahan, kecemasan, kesedihan, kemarahan, dan sakit hati.

Baca juga: UPI Tambah 4 Guru Besar Baru

Self therapy diharapkan membantu melewati itu semua dan mengubahnya menjadi keyakinan baru dan menghadirkan perspektif berbeda yang lebih konstruktif.

“Konsep ini juga memiliki kesadaran untuk mendengarkan nurani terdalam dari diri kita. Nurani, anugerah Tuhan, yang selalu bergema sejak kita bayi; bangkit dan berjalanlah,” ungkap Cece.

Bimbingan konseling

Pada kesempatan ketiga, pidato kehormatan disampaikan Syamsu Yusuf LN yang mengangkat judul “Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling Komprehensif untuk Akselerasi Kesehatan Mental Remaja dalam Mempersiapkan Generasi Emas 2045”.

Syamsu menjelaskan, kehidupan umat manusia saat ini dihadapkan dengan berbagai masalah atau tantangan yang semakin kompleks.

Beberapa masalah itu bahkan belum pernah terjadi sebelumnya, seperti masalah sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang dipicu akselerasi globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat cepat.

Baca juga: Guru Besar UPI Minta Kurikulum Pendidikan Manajemen Perkantoran Tekankan “Literacy Skills”

“Masa depan dampak negatif era globalisasi yang terjadi pada abad 21 telah memicu lahirnya berbagai problema kehidupan manusia, baik secara personal maupun sosial,” katanya.

Syamsu menyebutkan, kondisi lingkungan yang tidak sehat sangat mempengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya hidup (lifestyle) peserta didik, khususnya yang berusia remaja.

Hal itu bisa dilihat dari kecenderungan untuk menyimpang dari kaidah-kaidah moral atau akhlak hingga gejala perilaku salah suai (maladjustment),

Dia mencontohkan, perilaku menyimpang tersebut, seperti pelanggaran tata tertib sekolah, tawuran, mengonsumsi minuman keras, hingga menjadi pecandu narkoba atau narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), kriminalitas, bullying, pergaulan bebas (free sex), dan prostitusi.

Syamsu menyebutkan, pengaruh lainnya adalah berkembangnya mental yang tidak sehat, seperti perasaan cemas, stress, dan perasaan terasing.

Baca juga: Guru Besar UPI: Keterlibatan Perempuan dalam Olahraga Masih Terganjal Persepsi Masyarakat

“Fenomena masalah mental yang tidak sehat ini banyak dialami peserta didik, baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi,” sebutnya. 

Dia menilai, maraknya perilaku menyimpang di kalangan siswa atau mahasiswa saat ini menunjukkan mereka masih lemah dalam aspek kepribadian atau dimensi psikososiospiritualnya.

“Kondisi ini menunjukkan pula bahwa mereka membutuhkan sentuhan pendidikan yang dapat memfasilitasi berkembangnya kepribadian atau karakter yang mantap,” kataya.

Dengan begitu, kata Syamsu, mereka dapat mencegah terjadinya penyimpangan perilaku tersebut. Dalam hal ini, sentuhan pendidikan tersebut adalah layanan bimbingan dan konseling.

Dia menjelaskan, kesehatan mental merupakan komponen utama dari kohesi sosial, produktivitas, kedamaian, dan stabilitas dalam kehidupan bersama, serta berkontribusi terhadap pengembangan sosial-ekonomi masyarakat.

Baca juga: Guru Besar UPI Paparkan 3 Solusi Pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com