Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/05/2022, 14:55 WIB
Fransisca Andeska Gladiaventa,
Amalia Purnama Sari

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Dedi Sutedi mengatakan, Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak di dunia setelah China dalam pembelajaran Bahasa Jepang.

Capaian Indonesia itu tak lepas dukungan proses pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia bermula sejak 1962 di sejumlah sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Sumedang. Para murid SMA di Sumedang belajar Bahasa Jepang sebagai mata pelajaran pilihan.

“Pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia sudah ada sebanyak 90 persen di tingkat sekolah menengah pertama (SMP), SMA, dan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang masih tingkat pemula. Kemudian 4 persen berada di tingkat dasar pada kursus-kursus Bahasa Jepang dan 6 persen adalah mereka yang belajar di perguruan tinggi (PT),” jelas Dedi dalam keterangan pers yang diterima oleh Kompas.com, Jumat (27/5/2022).

Hal tersebut dikatakan Dedi Sutedi saat menyampaikan pidato pemikirannya tentang Peranan Linguistik dalam Pendidikan Bahasa Jepang di Kampus UPI, Rabu (18/5/2022).

Baca juga: IA, Mahasiswa yang Ditangkap Densus 88, Miliki IPK Tinggi di Kampus, Pengamat: Radikalisme Tak Kenal Tingkat Pendidikan

Pidato itu disampaikan Dedi saat agenda pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar UPI dalam Bidang Ilmu Linguistik Bahasa Jepang pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) UPI. Pengukuhan dilakukan langsung oleh Rektor UPI.

Dalam pengukuhan tersebut, Dedi Sutedi menyampaikan beberapa pemikiran permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam proses pembelajaran Bahasa Jepang.

Dedi mengungkapkan, panjangnya sejarah dan banyaknya jumlah siswa yang belajar Bahasa Jepang di Indonesia masih belum menuntaskan masalah yang terjadi secara turun-temurun.

Adapun tiga masalah yang selalu muncul adalah menyangkut proses belajar huruf, gramatika, dan praktik dalam berkomunikasi.

“Selama ini belum ditemukan metode mengajar atau strategi belajar huruf kanji yang jumlahnya hingga 2.000 itu yang cocok buat pembelajaran orang Indonesia,” ungkap Dedi.

Baca juga: Kisah Diana Kartika, Guru Besar Bahasa Jepang Pertama Se-Sumatera yang Jadi Pengusaha Sukses

Menurut Dedi, masalah pemahaman itu terjadi karena penjelasan yang tidak lengkap, tidak ada referensi yang mudah untuk dibaca, dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tata bahasa.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com