Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Kita Butuh Peta Pendidikan Baru

Kompas.com - 25/01/2021, 20:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMBUKAAN Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, salah satu tujuan utama negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu berarti, Pembukaan UUD 1945 menetapkan “pencerdasan kehidupan bangsa” memiliki makna yang sama dengan istilah “pendidikan”.

Pendidikan adalah pendampingan agar seseorang tumbuh sebagai manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang mau bertumbuh dalam seluruh dimensinya: fisikal, intelektual, emosional, moral/akhlak, spiritual dan sosial.

Juga, manusia yang bertanggung jawab, kreatif, serta mampu membangun relasi dan kolaborasi dengan orang lain di tengah alam semesta sesama ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

Manusia yang berkualitas adalah kunci utama kemajuan. Banyak negara di dunia seperti Jepang dan Singapura memiliki sumber daya terbatas, namun sukses meraih kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya karena kegiatan pembangunan ditopang oleh manusia yang berkualitas.

Harus diakui bahwa hingga kini manusia atau sering direduksi menjadi sumber daya manusia (SDM) Indonesia belum mumpuni.

Di Asia Tenggara saja Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masuk dalam kategori relatif rendah. United Nations Development Programme (UNDP) memberikan skor 0,707 untuk Indonesia. Dengan skor ini Indonesia berada di peringkat 6 di Asia Tenggara.

Memang, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia mengalami peningkatan pada beberapa tahun terakhir. Pada 2019, IPM Indonesia mencapai 71,92 meningkat sebesar 0,53 poin atau tumbuh sebesar 0,74 persen dibandingkan tahun 2018.

Namun, peningkatan tersebut belum cukup mencerminkan bahwa kualitas sumber daya Indonesia sudah tinggi.

Merdeka Belajar

Rendahnya kualitas SDM tentu berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Disinyalir sistem pendidikan kita masih tertinggal dari negara-negara lain.

Padahal, sistem pendidikan nasional kita telah diatur dalam Undang-Undang (UU) melalui UU No 3 tahun 1989, bahkan telah direvisi melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Namun, amanat tersebut belum cukup mampu menginspirasi rancangan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan di lapangan. Akibatnya, lembaga pendidikan kita kurang mampu menghasilkan lulusan SDM yang berkualitas, yang berkompeten dan bisa bersaing di pasar kerja global.

Lebih dari itu, manusia Indonesia cenderung kurang nasionalis dan kurang inklusif enggan menerima perbedaan (kurang infklusif). Hal itulah yang mendorong pemerintah mengajukan usulan merevisi kembali UU Sisdiknas.

Usulan revisi UU Sisdiknas yang diinisiasi pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dan hingga kini masih digodok oleh Komisi X DPR.

Tujuan Revisi UU tersebut dikaitkan dengan program dan target kebijakan Merdeka Belajar tetap berlanjut dan semua target akan tercapai pada 15 tahun ke depan.

Konsep Merdeka Belajar paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini. Sebab, dalam Merdeka Belajar terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi sekolah, guru dan anak didik untuk menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran.

Dengan begitu, Merdeka Belajar adalah sebuah proses yang memanusiakan manusia, bukan mendudukan manusia di bawah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), perubahan gaya hidup dan perkembangan media sosial.

Menurut Menteri Nadiem, revisi UU Sisdkinas memiliki 11 target yang menjadi fokus utama Merdeka Belajar 2020-2035, terdiri enam target berada di kategori pendidikan dasar dan menengah, dua target di kategori tata kelola, dan tiga target di kategori pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi.

Peta jalan pendidikan

Satu hal yang ditargetkan dalam revisi UU Sisdiknas adalah membuat peta jalan pendidikan, disingkat peta pendidikan. Hal itu diperlukan untuk memberi cakrawala yang jelas dalam rangka menyiapkan bangsa, mendidik calon pelaku kebangsaan mendatang.

Menurut penulis, peta pendidikan yang baru mesti menekankan kemanusiaan. Artinya, pendidikan dikembangkan karena para murid, guru dan orangtua adalah manusia dengan seluruh dimensi kepribadiannya yang utuh, bukanlah sebuah kotak yang perlu dimasuki pengetahuan dan keterampilan saja.

Dengan pendirian itu, tidaklah cukup kalau perhitungan atas pendidikan itu hanyalah diletakkan pada lingkup kepandaian dan keterampilan yang diarahkan untuk kemajuan ekonomi, politik, dan budaya semata; apalagi dengan memusatkan perhatian pada kepentingan kelompok, entah politis, ekonomi, suku, profesi maupun religiusitas tertentu.

Penulis pada prinsipnya sepakat dengan gagasan Menteri Nadiem mengenai Merdeka Belajar. Namun konsep itu harus diarahkan tidak cukup demi peningkatan kompetensi manusia Indonesia supaya sejajar dan mampu bersaing dengan SDM negara lain, melainkan demi pembangunan pribadi manusia Indonesia yang seutuhnya.

Dengan kata lain Merdeka Belajar itu suatu proses untuk menjadikan manusia Indonesia, manusia yang Pancasilais. Yaitu manusia yang berketuhanan, berperikemanusian dan menghargai harkat dan martabat orang lain, nasionalis, menghargai kebhinekaan dan menjaga kerukunan hidup bersama, yang terbuka untuk bermusyawarah, dan menjujung tinggi ketidakadilan sosial serta teguh memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Penyelenggaran pendidikan Indonesia masa mendatang harus dapat mengatasi diskriminasi atau pengotakan, baik dari aspek suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), maupun dari aspek gender, status sosial dan kondisi fisik. Selain itu, pendidikan perlu memperbanyak “komunitas untuk belajar satu sama lain”.

Oleh karena revisi UU Sisdiknas dan pembuatan peta pendidikan mesti menjadikan inclusive education, yang mencakupi cultural education, ethical/moral education, dan transcendental education, sebagai hal yang utama.

Selain itu, kita juga perlu mengembangkan virtual education sebagai bagian integral dari inclusivel education tersebut. Dengan begitu manusia Indonesia memiliki kepribadian yang kuat, berakhlak, nasionalis, tapi juga mampu beradaptasi dengan kemajuan iptek, dan bisa bekolaborasi dan berkompetisi dengan negara/bangsa lain.

Bangsa kita sangat membutuhkan inclusive education karena cita-cita Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan UUD 1945 adalah membangun manusia Indonesia yang bersatu dalam kebhinekaan, yang makmur serta sejahterah secara berkeadilan, sekaligus berperan aktif dalam perdamaian dunia.

Sistem dan perangkat pendukung

Untuk memuluskan pelaksanaan sistem Merdeka Belajar dan peta pendidikan dengan sasaran seperti dikemukakan di atas, kita perlu membangun suatu sistem dan perangkat pendukung yang kuat dalam berbagai bidang.

Di bidang hukum, kita perlu menyediakan perangkat UU dan peraturan pelaksanaan yang jelas, tegas dan tidak multitafsir. Perangkat hukum tersebut itu perlu disosialisasikan secara cepat dan merata.

Di bidang infrastruktur dan fasilitas, kita perlu menyediakan gedung sekolah yang layak, perpustakaan dan buku-buku yang memadai, termasuk jaringan internet untuk mengakses informasi secara mudah dan cepat, dan memfasilitasi pembelajaran jarak jauh.

Kemudian, di bidang SDM kita perlu menyediakan tenaga guru dengan jumlah dan kompetensi yang memadai.

Kita perlu menata soal orientasi dan persiapan yang diperlukan bagi para pendidik, staf, anak didik, dan orang tua berkenaan dengan penggunaan sistem pembelajaran yang berkelanjutan guna memastikan kontinuitas dan aksesibilitas yang sebenarnya.

Tentu saja, untuk menyediakan sistem dan perangkat pendukung baik, kita membutuhkan anggaran yang besar.

Berkenaan dengan itu, penulis berpendapat UU Sisdiknas dan peta pendidikan perlu menekankan aspek kolaborasi dan sinergi yang makin kuat antara pemerintah pusat dan daerah.

Sebab, sejauh ini pemerintah pusat mengalokasikan anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari RABPN, sementara hampir semua pemerintah daerah (kabupaten/kota) mengalokasikan anggaran pendidikan hanya sekitar 10 persen atau lebih rendah dari itu.

Kolaborasi dan sinergi juga perlu semakin dikembangkan di antara seluruh stakeholers pendidikan yaitu pemerintah, swasta, murid, guru, orang tua dan seluruh warga komunitas/masyarakat.

Kesuksesan pendidikan tak hanya ditentukan oleh pemerintah atau sekolah saja melainkan oleh partisipasi aktif pihak swasta, orangtua/ keluarga, komunitas agama, organisasi massa, juga dukungan media massa dan media sosial.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com