KOMPAS.com - Orde Baru adalah rezim yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, yang pemerintahannya berlangsung antara 1966 hingga 1998.
Setelah 32 tahun, pemerintahan Orde Baru akhirnya runtuh.
Berakhirnya pemerintahan Orde Baru ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Penyebab jatuhnya Orde Baru cukup banyak, utamanya faktor ekonomi dan politik.
Berikut ini faktor ekonomi dan politik runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Baca juga: Pemberedelan Media Massa pada Masa Orde Baru
Krisis politik Orde Baru merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik yang diterapkan pemerintahan Presiden Soeharto.
Selama era Orde Baru berjalan, diterapkan kebijakan-kebijakan politik, yang diwarnai berbagai penyelewengan.
Penyelewengan Pemerintah Orde Baru dapat ditelusuri dari maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberi perlakuan istimewa kepada kerabat dan kawan penguasa, menyebabkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Praktik nepotisme pada zaman Orde Baru salah satunya dijalankan melalui fusi atau penggabungan partai politik (fusi parpol).
Setelah fusi parpol dilakukan, hanya tersisa tiga partai besar yang didukung pemerintah, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golkar.
Dengan adanya tiga partai besar ini, maka masyarakat dilarang untuk membuat partai baru di luarnya.
Padahal, seharusnya demokrasi mengizinkan siapa saja untuk membentuk partai baru.
Baca juga: Praktik Pemerintahan Nepotisme pada Zaman Orde Baru
Dari ketiga partai besar tersebut, Golkar selalu mendapat suara terbanyak dalam pemilu selama enam kali berturut-turut, yakni pemilu 1971, 1972, 1982 1987, 1992, dan 1997.
Kemenangan ini menuai kecurigaan akan kecurangan, ditambah lagi rekrutmen politik dilakukan secara tertutup.