Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Cuak

Kompas.com - 28/02/2024, 14:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KATA cuak memang jarang muncul di media Indonesia. Kalau toh pernah viral adalah kata cuaks. Ada tambahan "s" di belakangnya. Mirip bentuk jamak dalam bahasa Inggris.

Cuaks itu masuk bahasa gaul. Warganet melampiaskan kekecewaannya dengan penutup: cuaks. Di akhir kalimat ada penegasan "cuaks".

Namun cuaks di sini berkonotasi negatif terhadap gagasan maupun fakta. Pendek kalimat, habis mosting negatif rasanya kurang afdol tanpa ada kata cuaks tersebut.

Semisal begini: "Di tipi teriak-teriak bully, eh anak sendiri pelaku bully. Cuaks". Atau yang ini: "Yang jadi calon sang bapak, yang lebay si anak. Cuaks".

Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘cuak’ tanpa ‘s’ berarti binatang (seperti kerbau, gajah) untuk memikat (gajah, kerbau liar) supaya dapat ditangkap.

Bilamana membuka tesaurusnya, cuak itu banyak sinonimnya. Tesaurus cuak di antaranya: takut, curiga, resah, syak wasangka, kecut, mutung, sakit hati dan terpukul.

Jadi, kalau berpegang pada sinonimnya, boleh dibilang cuak adalah sakit hati. Maka dari itu, tatkala ada komen cuaks ala bahasa gaul, sejatinya mereka sedang kesal, bahkan tidak senang, dan ada unsur sakit hati.

Sakit hati itu dapat dipahami sebagai keadaan di mana seseorang merasa tidak senang karena dilukai hatinya (dihina, dikhianati, ditipu, dan sebagainya).

Secara psikologis, sakit hati merupakan tumpukan emosi yang terakumulasi dan melibatkan perubahan perilaku dan keadaan fisiologis.

Dari sudut pandang fisiologis, perasaan sakit hati akan direspons tubuh yang ditunjukkan dengan tekanan darah meninggi, keluar air mata, dan degup jantung berdetak lebih kencang.

Perilaku juga berubah. Tiba-tiba dia gampang emosi dengan berteriak, menjelek-jelekkan orang lain, mengumpat dan membanting.

Secara kognitif, efeknya juga kelihatan. Dia selalu berpikiran negatif terhadap orang yang menyakitinya. Klop sudah, berpikiran negatif dengan cara menjelek-jelekkan orang lain.

Inilah yang kita lihat di masa Pemilu 2024. Ragam umpatan bermunculan di medsos atau konperensi pers.

Ternyata, setelah ditelusuri bisa diketahui pengumpat terbanyak adalah mereka yang sakit hati. Entah karena jabatannya dicabut, kursinya digeser dan pada intinya: kenikmatan dunia dihilangkan oleh seseorang.

Lihat, seorang lawan politik menjelek-jelekkan bekas atasannya. Usut punya usut, dulu pernah jadi korban resuffle.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com