Ada lagi, seorang purnawirawan jenderal menjadi pemimpin kelompok yang berupaya menjatuhkan lawan politik. Usut punya usut, dulu pernah diberhentikan oleh petingginya.
Mereka yang sakit hati ini membentuk "barisan". Gerakan barisan ini menuju pada satu sosok, yakni orang yang dianggap pernah menyakitinya. Mereka balas sakit hati dengan target mempermalukan, menjatuhkan dan menyingkirkan orang tersebut.
Barisan sakit hati mengusung politik syak wasangka. Di mata mereka, lawan tak pernah benar, tak bisa kerja, menawarkan program yang tidak membumi, dan sederet ketidaksempurnaan lainnya.
Politik sakit hati ini membuat medsos ramai memanas. Para pendukung ikut dalam arus sakit hati tersebut tanpa memperhitungkan rekam jejak yang didukung.
Pokoknya mengumpat, menjelek-jelekkan, sebagaimana yang diperagakan tokoh yang didukungnya.
Akibatnya medsos menjadi mengerikan. Perang kata-kata. Perang visual. Tanpa rambu etika. Semua terjadi karena satu kata: cuak.
Akankah "kecuakan" ini berakhir? Biasanya, bilamana para tokoh sudah duduk bersama, karakter cuak pelan-pelan menghilang. Yang tersisa hanya rakyat kecil menyadari menjadi korban dramaturgi politik.
Akhirnya hanya bisa bilang begini :"Pas Pemilu menjelek-jelekkan lawan politik. Giliran dirangkul lupa apa yang pernah diucapkan. Cuaks!"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.