Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Praktik Pemerintahan Nepotisme pada Zaman Orde Baru

Kompas.com - 28/04/2022, 14:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Nepotisme adalah perbuatan penyelenggara negara yang melawan hukum demi menguntungkan kepentingan keluarga atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam sejarah Indonesia, nepotisme sempat ramai diperbincangkan pada era Soeharto atau pada zaman Orde Baru.

Praktik nepotisme gencar dilakukan semasa rezim Presiden Soeharto, yang memberi banyak keuntungan kepada keluarga dan koleganya.

Lantas, bagaimana praktik pemerintahan nepotisme pada zaman Orde Baru?

Baca juga: Sejarah Hukum di Indonesia: Masa Orde Baru (1966-1998)

Fusi partai politik

Pada 1973, Presiden Soeharto melakukan fusi atau penggabungan partai politik (fusi parpol).

Tujuan fusi parpol adalah untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia guna menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diketahui bahwa partai politik pada awal era Orde Baru sangat banyak jumlahnya, sehingga memunculkan banyak ideologi sekaligus kepentingan partai.

Pada pemilu 1955, tercatat ada 29 partai, yang masih ditambah dari perorangan.

Oleh sebab itu, pada 14 Mei 1960, diumumkan bahwa hanya ada 10 partai politik yang mendapat dukungan dari pemerintah.

Presiden Soeharto mengutarakan gagasannya terkait fusi parpol dalam pidatonya di Kongres XII PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang.

Baca juga: Fusi Partai Politik 1973

Awalnya, gagasan ini diterima oleh berbagai partai, seperti Partai Nasional Indonesia dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian, ketua Partai Muslimin Indonesia, Djarnawi Hadikusumo, juga menyetujui kebijakan fusi parpol. Namun, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik menolak.

Dalam pemilu 1971, Partai Golkar berhasil unggul dengan jumlah suara 62,8 persen (236 kursi DPR).

Peringkat kedua diisi oleh Partai NU dengan jumlah suara 18,6 persen (58 kursi) dan ketiga PNI dengan jumlah suara 6,9 persen.

Setelah itu, pada 5 Januari 1973, partai-partai Islam seperti NU, PSII, dan Perti, membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com