Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faktor Ekonomi dan Politik Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru

Kompas.com - 28/02/2024, 21:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

Rekrutmen politik masa itu memang diatur berdasarkan kedekatan presiden dengan pemerintah.

Tidak hanya itu, pada masa Orde Baru, setidaknya ada delapan Keppres yang dikeluarkan Soeharto dan disinyalir memberi keuntungan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Soeharto juga dikenal gemar menunjuk kawan-kawan militernya untuk menduduki berbagai jabatan sipil di pemerintahan.

Pada era Orde Baru, mayoritas gubernur berasal dari kalangan militer, khususnya para jenderal. Untuk para perwira militer, biasanya diangkat sebagai bupati atau wali kota.

Dengan pengangkatan perwira militer dalam pemerintahan, rezim Orde Baru dapat merepresi lawan-lawan politik Soeharto.

Tidak heran apabila kekuasaannya dapat bertahan lama, bahkan hingga tiga dekade lebih.

Baca juga: 4 Penyanyi yang Pernah Dicekal pada Masa Orde Baru

Terlebih, pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan lebih bersifat sentralistik, di mana segala sesuatu berpusat pada pemerintah.

Sentralisasi membuat pemerintah memiliki peran yang sangat besar dalam melaksanakan proses pembangunan.

Salah satu akibat negatif sentralisasi kekuasaan di masa Orde Baru adalah terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Berbagai kecurangan di bidang politik pada akhirnya membuat masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah, yang akhirnya menyebabkan runtuhnya Orde Baru.

Faktor ekonomi berakhirnya pemerintahan Orde Baru

Penyebab utama kegagalan perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru adalah praktik korupsi dan monopoli perusahaan milik Keluarga Cendana, serta krisis moneter.

Krisis moneter yang bermula di Thailand, pada akhirnya merembet ke beberapa negara Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Baca juga: Rentang Waktu Kekuasaan Orde Baru

Di Indonesia, krisis moneter mulai terasa sejak Juli 1997 dan hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi.

Krisis moneter berdampak langsung pada dunia perbankan nasional, terutama dalam masalah likuiditas perbankan.

Kondisi internal bank nasional waktu itu juga buruk, sebagai konsekuensi dari sistem manajemen, konsentrasi kredit yang berlebihan, kurang transparan dalam masalah keuangan, serta belum efektifnya pengawasan dari Bank Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com