Oleh: Edy Marwanta dan Suherman
BELUM lama ini Bappenas mengatakan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi dini, yaitu penurunan kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (Kompas.com, 27 Juli 2023).
Baca juga: Sudah Saatnya BRIN Membangun Ekosistem Publikasi Ilmiah Berskala Internasional
Sontak saja peryataan tersebut menjadi tamparan bagi dunia riset terutama BRIN.
Di sisi lain, para akademisi dan peneliti sempat bergembira dan bangga karena jumlah publikasi di jurnal internasional meningkat secara eksponensial, bahkan bisa mengalahkan negara-negara tetangga.
Akan tetapi, sayangnya itu hanyalah kebanggaan semu, karena tidak mengubah status negara kita menjadi negara maju dalam bidang teknologi, publikasi bertambah secara kuantitas tanpa kualitas, seperti buih di lautan sebagaimana fakta dari Bappenas.
Fakta-fakta di atas bisa dijadikan bahan pertimbangan buat lembaga-lembaga riset khususnya BRIN sebagai lembaga riset terbesar di tanah air.
Ada dua persoalan fundamental yang menjadi diskursus yang sampai sekarang masih ramai diperbincangkan para periset BRIN, yaitu masalah positioning dan orientasi.
Pertama, positioning yang masih ambigu. Apakah BRIN merupakan lembaga riset pemerintah untuk mendukung program pemerintah dalam mengatasi masalah real atau lembaga riset akademik?
Integrasi lembaga riset yang dimaknai peleburan menyebabkan positioning BRIN dirasakan masih ambigu.
Lembaga riset yang berbeda genetik dilebur dalam satu cara pengelolaan. BATAN dan LAPAN misalnya, merupakan lembaga riset yang bertujuan penguasaan teknologi dalam bidang nuklir dan penerbangan.
Baca juga: Indonesia Nomor Satu Publikasi Jurnal Akses Terbuka di Dunia, Apa Artinya?
Peleburan lembaga membuat lembaga strategis ini turut menjadi lembaga riset akademik.
Kebijakan pengelolaan infrastruktur dan fasilitas dalam satu pengelolaan oleh Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi, serta kebijakan output berbasis publikasi oleh periset membuat ex lembaga ini kehilangan kompetensi lembaga.
Terjadi shifting dari basis kompetensi lembaga menjadi kompetensi personal periset. Padahal lembaga riset nuklir dan penerbangan di negara manapun, bertujuan penguasaan teknologi berbasis kompetensi lembaga.
Pengelolaan BRIN saat ini mengubah orientasi kompetensi lembaga menjadi kompetensi personal. Menekankan volume/jumlah output berupa publikasi ilmiah dibanding kompetensi Lembaga. Ibarat membuat gula kapas alih-alih membuat permen.
Dengan input gula, memang menghasilkan gula kapas terlihat besar, namun sifatnya tidak mendasar dan rapuh. Maka wajar jika ada usulan mengembalikan LAPAN dan BATAN menjadi lembaga tersendiri.