Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mata Garuda Banten
Perkumpulan Alumni Beasiswa LPDP di Provinsi Banten

Perkumpulan alumni dan awardee beasiswa LPDP di Provinsi Banten. Kolaborasi cerdas menuju Indonesia emas 2045.

Melihat Rekayasa Genetika Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim

Kompas.com - 26/06/2023, 10:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Rashinta Diva Ardani dan Erwin Fajar Hasrianda*

PERUBAHAN iklim merupakan isu yang tidak asing di telinga kita. Siapa yang tidak tahu mengenai perubahan iklim?

Perubahan iklim merupakan fenomena pemanasan global di mana terjadi peningkatan gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Hal tersebut kini tak terelakkan dan disebabkan oleh banyak faktor.

Dampak-dampak yang dapat ditimbulkan antara lain curah hujan tinggi, musim kemarau berkepanjangan, peningkatan volume air global akibat mencairnya es di kutub, dan bahkan krisis pangan.

Di sini kita akan menelik pemanfaatan teknologi rekayasa genetika tanaman sebagai upaya mencegah krisis pangan di Indonesia akibat dampak perubahan iklim global.

Perkembangan terbaru dari data satelit Denmark mencatat bahwa dalam waktu 20 tahun terakhir kutub utara telah kehilangan sebanyak 5.100 miliar ton es.

Jumlah yang terdengar tidak begitu besar untuk sebongkah es, tetapi mampu menggenangi benua Amerika sedalam 0,5 meter dan mengambil andil dalam kenaikan permukaan laut global sekitar 1,2 cm.

Mencairnya es di kutub utara juga diproyeksikan berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut global hingga 13 cm pada tahun 2100 (Setyowibowo, 2022).

Tentu hal tersebut membawa dampak yang buruk pada kelangsungan kehidupan di Bumi. Naiknya permukaan air laut dapat berujung pada tertutupnya daratan oleh air laut.

Coba kita pikirkan, daratan yang mulanya kita gunakan sebagai tempat untuk hidup dan memproduksi pangan-pertanian akan tertutup oleh air laut.

Sampai detik ini di antara kita pasti masih berpikir apakah akan sampai sebesar itu dampaknya?

Diungkapkan oleh Andrew Shepherd, seorang penulis studi dan ilmuwan iklim dari University of Leeds di Inggris, bahwa “tiap permukaan laut global naik 1 cm, setara dengan 6 juta orang yang akan kebanjiran”.

Jika melihat tren pencairan es di kutub utara saat ini, mencairnya es di kutub utara saja setidaknya dapat menyebabkan 100 juta orang terdampak kebanjiran setiap tahunnya pada akhir abad ini.

Akan tetapi itu hanyalah secuil awal kisah dari mimpi buruk kita. Mimpi buruk kita sebenarnya adalah ketika seluruh es di kutub utara mencair, maka permukaan laut global akan meningkat setinggi 7,4 meter.

Belum berakhir, mimpi buruk dari segala mimpi buruk adalah ketika seluruh es di benua selatan juga ikut mencair, permukaan laut global akan meningkat setinggi 60 meter (Setyowibowo, 2022).

Sampai sini, sepertinya kita sudah cukup memahami betapa seriusnya permasalahan yang kita bahas.

Sekarang, jika perubahan iklim menjadi semakin ekstrem, Indonesia sebagai negara agraris, yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian akan begitu terdampak.

Kenaikan permukaan air laut akan membuat lahan pertanian yang subur menjadi kritis karena mengalami stress saline (stres garam) dan menjadi tidak layak untuk ditanami.

Sebagai gambaran, pada periode tahun 1925-1989 saja, tercatat permukaan air laut di Jakarta naik sebesar 4,38 mm/ tahun, di Semarang 9,27 mm/tahun, dan di Surabaya sebesar 5,47 mm/tahun.

Dalam waktu yang bersamaan, pasokan beras dari daerah Karawang dan Subang berkurang sekitar 300.000 ton akibat naiknya permukaan air laut.

Pada masa mendatang, potensi kehilangan luas lahan sawah akibat dampak salinitas di Indonesia diperkirakan sebesar 113.000-146.000 ha, lahan kering areal tanaman pangan berkisar 16.600-32.000 ha, dan lahan kering areal perkebunan berkisar 7.000-9.000 ha.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com