Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat Rekayasa Genetika Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim

PERUBAHAN iklim merupakan isu yang tidak asing di telinga kita. Siapa yang tidak tahu mengenai perubahan iklim?

Perubahan iklim merupakan fenomena pemanasan global di mana terjadi peningkatan gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Hal tersebut kini tak terelakkan dan disebabkan oleh banyak faktor.

Dampak-dampak yang dapat ditimbulkan antara lain curah hujan tinggi, musim kemarau berkepanjangan, peningkatan volume air global akibat mencairnya es di kutub, dan bahkan krisis pangan.

Di sini kita akan menelik pemanfaatan teknologi rekayasa genetika tanaman sebagai upaya mencegah krisis pangan di Indonesia akibat dampak perubahan iklim global.

Perkembangan terbaru dari data satelit Denmark mencatat bahwa dalam waktu 20 tahun terakhir kutub utara telah kehilangan sebanyak 5.100 miliar ton es.

Jumlah yang terdengar tidak begitu besar untuk sebongkah es, tetapi mampu menggenangi benua Amerika sedalam 0,5 meter dan mengambil andil dalam kenaikan permukaan laut global sekitar 1,2 cm.

Mencairnya es di kutub utara juga diproyeksikan berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut global hingga 13 cm pada tahun 2100 (Setyowibowo, 2022).

Tentu hal tersebut membawa dampak yang buruk pada kelangsungan kehidupan di Bumi. Naiknya permukaan air laut dapat berujung pada tertutupnya daratan oleh air laut.

Coba kita pikirkan, daratan yang mulanya kita gunakan sebagai tempat untuk hidup dan memproduksi pangan-pertanian akan tertutup oleh air laut.

Sampai detik ini di antara kita pasti masih berpikir apakah akan sampai sebesar itu dampaknya?

Diungkapkan oleh Andrew Shepherd, seorang penulis studi dan ilmuwan iklim dari University of Leeds di Inggris, bahwa “tiap permukaan laut global naik 1 cm, setara dengan 6 juta orang yang akan kebanjiran”.

Jika melihat tren pencairan es di kutub utara saat ini, mencairnya es di kutub utara saja setidaknya dapat menyebabkan 100 juta orang terdampak kebanjiran setiap tahunnya pada akhir abad ini.

Akan tetapi itu hanyalah secuil awal kisah dari mimpi buruk kita. Mimpi buruk kita sebenarnya adalah ketika seluruh es di kutub utara mencair, maka permukaan laut global akan meningkat setinggi 7,4 meter.

Belum berakhir, mimpi buruk dari segala mimpi buruk adalah ketika seluruh es di benua selatan juga ikut mencair, permukaan laut global akan meningkat setinggi 60 meter (Setyowibowo, 2022).

Sampai sini, sepertinya kita sudah cukup memahami betapa seriusnya permasalahan yang kita bahas.

Sekarang, jika perubahan iklim menjadi semakin ekstrem, Indonesia sebagai negara agraris, yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian akan begitu terdampak.

Kenaikan permukaan air laut akan membuat lahan pertanian yang subur menjadi kritis karena mengalami stress saline (stres garam) dan menjadi tidak layak untuk ditanami.

Sebagai gambaran, pada periode tahun 1925-1989 saja, tercatat permukaan air laut di Jakarta naik sebesar 4,38 mm/ tahun, di Semarang 9,27 mm/tahun, dan di Surabaya sebesar 5,47 mm/tahun.

Dalam waktu yang bersamaan, pasokan beras dari daerah Karawang dan Subang berkurang sekitar 300.000 ton akibat naiknya permukaan air laut.

Pada masa mendatang, potensi kehilangan luas lahan sawah akibat dampak salinitas di Indonesia diperkirakan sebesar 113.000-146.000 ha, lahan kering areal tanaman pangan berkisar 16.600-32.000 ha, dan lahan kering areal perkebunan berkisar 7.000-9.000 ha.

Apabila kita tidak dengan sigap melakukan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim, dapat diperkirakan pada 2050 produksi tanaman pangan nasional akan mengalami penurunan drastis.

Sebesar 20-27 persen untuk padi, 13,60 persen untuk jagung, 12,40 persen untuk kedelai, dan 7,60 persen untuk tebu (Surmaini dkk., 2011). Padahal jumlah penduduk Indonesia yang perlu makan akan terus meningkat setiap tahunnya.

Dengan begitu, jika dampak buruk salinitas tidak dipecahkan, maka dapat diprediksi bahwa krisis pangan serius akan terjadi.

Pangan yang sehari-hari biasa kita konsumsi akan menjadi sangat sulit diperoleh. Sekalipun tersedia, harga yang ditawarkan sangat tinggi dan tidak masuk akal.

Hal ini sangat mungkin berujung demonstrasi dan kerusuhan menuntut penurunan harga sembako. Tentu kita tidak ingin mengulang masa kelam kerusuhan yang terjadi pada 1998.

Sehingga, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah melakukan upaya mitigasi dengan jalan meningkatkan daya adaptasi sistem pertanian kita terhadap perubahan iklim dan cekaman salinitas sesegera mungkin.

Nah menariknya, terdapat tanaman yang diketahui dapat hidup di lingkungan dengan salinitas tinggi. Hal tersebut dikarenakan secara alamiah, tanaman ini telah dibekali kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Proses adaptasi tersebut diatur dan terkode dalam mekanisme metabolisme di dalam tubuh makhluk hidup.

Sebagai contohnya saja, tanaman bakau yang tergenang air laut berkadar salinitas tinggi dan mampu tumbuh dengan baik.

Hal tersebut dikarenakan tanaman ini memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan garam melalui alat ekskresi yang dimilikinya.

Di samping itu juga telah dikembangkan oleh ilmuwan berbagai jenis tanaman pangan yang mampu mentoleransi lingkungan dengan kadar salinitas tinggi.

Sebagai contohnya adalah padi varietas Dendang, Lambur, Siak Raya, Inpari 34 Agritan, Inpari 35 Agritan, Inpari Unsoed 79 agitan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR, dan Inpari 44 Agritan yang memiliki sifat mampu menahan cekaman saline lingkungan sehingga dapat ditanam lahan-lahan yang terpapar salinitas.

Dengan serangkaian metode rekayasa genetika tanaman yang telah sangat berkembang saat ini, bukan hal yang mustahil untuk menciptakan tanaman dengan sifat adaptasi yang kita inginkan.

Konsep rekayasa genetika di dunia pertanian juga sudah memiliki beragam kisah sukses diterapkan dan lebih dikenal sebagai tanaman transgenik.

Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi suatu gen asing atau lebih sehingga memiliki sifat dan kualitas yang lebih unggul.

Contoh dari tanaman transgenik adalah Jagung Bt dan Kedelai transgenik.

Jagung Bt telah disisipi gen Bt (delta endotoksin) dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis yang bersifat toksik selektif terhadap hama dari kelompok Coleoptera dan Lepidoptera (Saragih dkk., 2009).

Protein toksin Bt dari gen yang disisipkan ke dalam tanaman jagung tersebut bekerja merusak sistem pencernaan khusus yang hanya ada pada serangga sehingga hama akan mati.

Jagung Bt berhasil meningkatkan produktivitas pertanian hingga 90 persen dibandingkan jagung non Bt di Filipina dan pendapatan petani meningkat mencapai 300-600 dollar AS/ha.

Di spanyol, petani berhasil mendapat tambahan keuntungan mencapai 11-15 juta euro dan dapat mengurangi tingkat penyemprotan insektisida kimia (Herman, 2007).

Contoh lain dari keberhasilan teknologi rekayasa genetika pada tanaman adalah kedelai transgenik.

Kedelai normalnya mengalami penurunan hasil produksi akibat terpapar herbisida yang digunakan untuk membunuh gulma. Sedangkan, kedelai transgenik mampu tumbuh normal dan memiliki hasil produksi yang lebih tinggi (Maskar dkk., 2015).

Tanaman ini telah dimodifikasi secara genetik sehingga memiliki keunggulan tahan terhadap herbisida yang dibuat dengan cara menyisipkan gen EPSPS dari bakteri.

Ini menjadikan penanaman kedelai transgenik dirasa lebih menguntungkan bagi petani. Hasilnya, produktivitas kedelai menjadi signifikan meningkat.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh USDA, seiring dengan tingginya permintaan pasar terhadap kedelai, penanaman kedelai transgenik meningkat pesat dari tahun ke tahun.

Tercatat pada 1997 yang hanya sekitar 17 persen, lalu pada tahun 2001 meningkat menjadi 68 persen, kemudian meningkat kembali menjadi 94 persen pada 2014.

Dari kedua contoh keberhasilan di atas, kita memiliki peluang untuk menjadikan metode rekayasa genetika sebagai solusi untuk menghadapi permasalahan pemanasan global dan lahan kritis yang kita hadapi.

Kita dapat mulai mencari gen-gen mana saja yang bertanggungjawab terhadap ekspresi adaptasi tanaman pada lingkungan dengan salinitas tinggi.

Selanjutnya melalui rekayasa genetika kita dapat mengembangkan varietas tanaman yang adaptif terhadap lingkungan berkadar salinitas tinggi dengan cara menyisipkan gen yang telah kita temukan.

Setelah varietas tanaman tahan salin berhasil dikembangkan, diharapkan kita menjadi lebih siap dalam menghadapi perubahan iklim ekstrim di Indonesia.

Diharapkan pula, produktivitas dan profitabilitas hasil pertanian di Indonesia khususnya di daerah terdampak salinitas dapat meningkat.

Namun lebih dari itu, teknologi rekayasa genetika menyimpan potensi jauh lebih besar untuk dikembangkan.

Tidak hanya memberikan solusi terhadap masalah pangan, namun teknologi ini dapat kita gunakan juga untuk merekayasa tanaman agar lebih efektif dalam menyerap gas rumah kaca penyebab pemanasan global, dan dapat menghasilkan biomassa atau produk pangan dan pakan berkadar nutrisi lebih tinggi.

Sehingga kita dapat secara aktif memerangi perubahan iklim ekstrem sekaligus mengembangkan kualitas serta kuantitas produk pangan di masa mendatang.

Saat ini, para peneliti mulai mengembangkan beberapa tanaman yang memiliki toleransi terhadap lingkungan dengan kadar salinitas yang tinggi seperti pada beberapa varietas padi yang diuraikan sebelumnya.

Melihat potensi serta keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dari teknologi rekayasa genetika pada tanaman, dapat kita simpulkan bahwa teknologi ini memiliki peran yang strategis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim ekstrem.

Dengan demikian, ketahanan pangan di Indonesia dapat diwujudkan, kesejahteraan petani ditingkatkan dan dampak negatif pemanasan global dapat ditekan.

*Rashinta Diva Ardani, Mahasiswa Program Studi Bioteknologi, Universitas Brawijaya, Peserta Magang pada Pusat Riset Rekayasa Genetika, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Erwin Fajar Hasrianda, Awardee LPDP, Anggota Komunitas Keilmuan LPDP Life Sciences, Alumni Wageningen University, Bidang Plant Breeding & Genetics, Pengurus Mata Garuda Banten

https://www.kompas.com/sains/read/2023/06/26/102458023/melihat-rekayasa-genetika-tanaman-menghadapi-perubahan-iklim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke