“Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional,” lanjutnya.
Dilansir dari Kompas.com (21/5/2021), saat Harmoko menyatakan hal itu, ia didampingi oleh seluruh wakil ketua DPR, yakni Ismail Hasan Materum, Syarwan Hamid, Badul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pernyataan Harmoko itu pun cukup mengejutkan berbagai pihak, mengingat posisi dan latar belakangnya sebagai salah satu orang dekat Soeharto.
Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI menganggap pernyataan itu hanyalah pendapat pribadi.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Petisi 50 Kritik Soeharto, Isi, dan Tokohnya
Sementara itu, Soeharto menerima empat menteri koordinator (menko) di kediamannya, Jalan Cendana. Empat menko itu melaporkan kondisi terkini perkembangan politik.
Para menko berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII yang baru saja dibentuk untuk dibubarkan, bukan di-reshuffle.
Hal itu bertujuan agar mereka tidak terpilih lagi dalam Kabinet Reformasi supaya tidak terlalu terlanjur malu dengan apa yang saat itu terjadi.
Namun, Soeharto mengatakan bahwa urusan kabinet adalah urusannya yang membuat para menko heran karena Soeharto sudah tahu, hingga tidak ada yang berani membicarakan wacana itu.
Baca juga: Sejarah Imlek di Indonesia, 32 Tahun Dilarang Soeharto, Kini Jadi Hari Libur Nasional
Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan ulama dan tokoh masyarakat pada 19 Mei 1998 pagi.
Tokoh yang hadir antara lain Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), dan Sumarsono (Muhammadiyah).
Setelah pertemuan itu, Soeharto pun menyatakan akan me-reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi.
Menurut Nurcholish, ide itu muncul dari Soeharto sendiri. Tidak ada tokoh yang menyampaikannya kepada Soeharto.
Namun, Nurcholish dan Gus Dur menolak untuk terlibat dalam Komite Reformasi.
Baca juga: Cut Zahara Fona dan Bayi Ajaib, Hoaks 1970-an yang Buat Presiden Soeharto dan Jajaran Tertarik
Tanda-tanda Soeharto akan mundur sebenarnya sudah tampak pada pertemuan tersebut, namun ada dua orang yang tidak setuju dengan hal itu karena dianggap tidak menyelesaikan masalah.
Sore harinya, Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) Ginandjar Kartasasmita menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi, yakni Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet.
Pada intinya mereka menganggap tindakan itu hanya mengulur-ulur waktu.
Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?
Kegelisahan Soeharto pun semakin bertambah pada 20 Mei 1998. Saat itu 14 menteri bidang Ekuin sepakat tidak bersedia mendapat peran dalam Komite Reformasi ataupun kabinet reformasi hasil reshuffle.
Awalnya, keinginan para menteri bidang Ekuin itu ingin disampaikan secara langsung kepada Soeharto, namun akhirnya diputuskan menyampaikannnya melalui sepucuk surat.
Surat itu disampaikan oleh Kolonel Sumardjono pada malam hari. Soeharto pun segera masuk ke kamar dan membaca surat itu.