Kebutuhan komunikasi saat ini melampaui kepemimpinan zaman dulu dan menghendaki praktik dari e-leadership sebagai pendekatan gaya kepemimpinan baru.
Saya berkeyakinan, saat ini para pemimpin virtual sedang terus belajar dan beradaptasi. Lalu, bagaimana caranya agar dapat menjadi e-leaders yang lebih baik?
Pertama, kompetensi komunikasi lisan dan tulisan agar terus diasah. Punya keterampilan komunikasi yang baik merupakan modal utama pemimpin virtual. Bukan hanya seberapa banyak pemimpin berkomunikasi, tetapi tetap menjaga kualitas komunikasi juga jadi faktor penting.
Baca juga: Mau Jadi Pemimpin yang Inovatif? Pahami Konsep ABC Leadership
Menurut studi dari RW3 Culture Wizard 2022, sebanyak 40 persen responden masih menemui kesulitan soal kualitas komunikasi. Alhasil, kreativitas dan produktivitas terhambat, sehingga leaders harus terus mengasah kompetensi mereka agar tidak menghambat inovasi.
Kedua, harus memiliki keterampilan menggunakan jejaring sosial, mengelaborasi interaksi antar pengikut dan pemimpin merupakan tantangan tersendiri. Sulitnya menangkap respon emosi dan psikologis menjadi hal yang perlu terus diasah.
E-leaders perlu belajar untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap cara pandang serta cara berpikir dari anggotanya. Terlebih hadirnya perbedaan budaya, ekonomi dan sosial dari para anggota organisasi. Jejaring sosial menjembatani kebutuhan pemimpin untuk memahami anggota dan pengikutnya.
Mary Barra, Direktur Utama General Motors, adalah salah satu dari banyak CEO yang aktif bermedia sosial. Dia punya lebih dari satu juta pengikut di LinkedIn dan lebih dari 40 ribu di Twitter. Dia aktif mempromosikan produk, value, dan isu yang menjadi fokusnya. Mary konsisten melakukan itu, setidaknya satu bulan sekali dia menulis artikel di LinkedIn. Pengikutnya pun jadi paham tentang value dan produk dari General Motors.
CEO dari Raymond Limited, Sanjay Behl, mengakui dampak media sosial terhadap dirinya. Media sosial membuatnya bisa mengenal lebih dekat konsumennya dan mengetahui apa yang mereka pikirkan.
Sanjay juga mendapat feedback tentang produknya, yang membuatnya dapat meningkatkan kualitas produk perusahaannya. Singkatnya, media sosial memberikan manfaat yang besar bagi para leaders, baik untuk personal maupun level organisasi.
Ketiga, e-leaders perlu memiliki kemampuan teknis menggunakan berbagai perangkat digital dengan sangat baik. Memberi arahan, komando, dan mengendalikan pengikut melalui media elektronik merupakan keterampilan wajib dari praktek e-leadership.
Sesederhana bagaimana mengoperasikan Zoom, Slack, Google Meet, dan lain-lain. Meskipun CEO memiliki semacam sekretaris atau asisten, memahami mengoperasikan berbagai perangkat teknologi juga memiliki manfaatnya sendiri.
Keempat, e-leaders harus mengasah kreativitas dan terus inovatif dalam memanfaatkan hadirnya berbagai teknologi baru yang hadir setiap saat. Kita sekarang ada di era eksponensial. Teknologi baru tercipta selagi kita melakukan aktivitas. Berinovasi bukan lagi sebuah dorongan sukarela, melainkan kewajiban.
Namun, menurut studi HLB 2022, hampir 60 persen pemimpin lebih percaya diri dengan kemampuan mereka berinovasi. Ditambah lagi, 93 persen pemimpin lebih percaya diri menantang cara lama menyelesaikan pekerjaan di organisasinya.
Kelima, kecerdasan spasial di mana paham bekerja dan berpikir melintasi batas budaya, hierarki, ruang, dan waktu. Terkadang anggota merasa terganggu dengan pengiriman email yang tak kenal waktu. Tetapi, leader harus rajin memonitor dan mengawasi interaksi para anggotanya untuk menjaga kualitas pekerjaan. Ini mengakibatkan ketegangan antara leaders dan anggota.
Bobbi Thomason dan Jennifer Franczak dalam artikelnya "3 Tensions Leaders Need to Manage in the Hybrid Workplace" yang dimuat di Harvard Business Review menemukan cara yang tepat untuk masalah tersebut. Bagi leader yang memiliki standar jam kerja yang berbeda, bisa menuliskan dalam email seperti ini: “My working hours may not be your working hours. Please do not feel the need to respond outside of your working hours.”