Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

"Digital Leadership" untuk Hadapi Industri 5.0 dan Atasi Birokrasi Konservatif

Kompas.com - 09/12/2022, 14:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA ungkapan, ketika sebuah kereta kuda ditarik empat ekor kuda maka kecepatan kereta akan ditentukan kuda yang paling lambat. Ungkapan ini seolah ingin menyampaikan pesan bahwa yang paling lambat justru yang jadi penentu.

Saya terkesan akan ungkapan itu yang disampaikan tokoh manajemen Tanri Abeng dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu. Realitas itu juga bisa terjadi dalam banyak hal dalam kehidupan kita.

Ketika perencanaan dan kebijakan telah ditetapkan sebagai keputusan korporasi atau organisasi, tetapi bisa lambat atau gagal dieksekusi karena lamban dilaksanakan eselon di level bawah, yang secara berjenjang tidak bisa dilampaui karena ekosistem birokrasi konservatif.

Bayangkan jika keputusan strategis pada high level justru terpatahkan oleh eksekusi yang tidak lancar di level paling bawah. Apalagi jika pimpinan korporasi atau organisasi tidak melakukan kendali yang cukup.

Baca juga: Ingin Berkarier di Industri Teknologi? Kuasai 6 Kompetensi Ini

Digital leadership (kepemimpinan digital) dipercaya bisa mengatasi berbagai hambatan dan kelambanan kinerja organisasi untuk menembus kebuntuan birokrasi konservatif itu. Memangkas jabatan struktural, dan menerapkan model jabatan fungsional dalam sebuah organisasi agar lebih lincah bergerak, dan bisa mengambil keputusan dengan cepat, adalah langkah progresif.

Model itu jika konsisten dijalankan, selain dapat menghasilkan teamwork yang baik, juga akan memangkas birokrasi yang kental dengan penjenjangan struktur jabatan. Hal ini akan lebih optimal jika didukung pola kepemimpinan digital.

Digital leadership akan membuat formula itu menjadi lebih progresif dan efektif. Hambatan-hambatan capaian kinerja organisasi saat ini selain disebabkan karena hal di atas juga ditentukan kualitas dan budaya sumber daya manusia (SDM).

Pilar Digital Leadership

Untuk menembus berbagai hambatan, saat ini di dunia gencar diintroduksi model dan formula digital leadership yang bisa menggerakan organisasi pada semua level secara interaktif.

Di bawah ini dikemukakan beberapa pilar digital leadership:

Pertama, digital leadership identik dengan kapasitas seorang pemimpin dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan menggunakan perangkat dan platform digital.

Kepemimpinan digital berdampak positif bagi organisasi dalam menciptakan kinerja lebih baik dan efisien. Seorang digital leader juga dituntut untuk responsif terhadap hal-hal baru, termasuk ide-ide inovatif baru sejalan dengan perkembangan teknologi digital yang berlari cepat.

Kedua, terkoneksi realtime, anytime dengan anggota di dalam maupun mitra di luar organisasi adalah sisi lain digital leadership. Komunikasi dan kordinasi dapat dilakukan tidak saja tanpa sekat ruang dan waktu, tetapi juga bebas sekat level jabatan. Panduan dari pimpinan paling tinggi bahkan bisa diakses langsung oleh semua level dalam satu komunitas online sesuai kepentingan organisasi.

Baca juga: Meta Leadership: Gaya Kepemimpinan Efektif di Era Badai Krisis

Ketiga, digital leader memiliki kapasitas berpikir dan bekerja sama dan pelibatan semua pegawai. Hal ini akan membuat roda organisasi lebih optimal, lebih akrab, tetapi tentu tetap memegang tatakrama digital dan etika. Interaksi digital tidak identik dengan kebebasan tanpa batas. Ekosistem dan interaksi digital yang baik akan berdampak pada loyalitas individu yang lebih baik.

Keempat, digital leader juga tidak terpaku hanya pada kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), tetapi juga kecerdasan adversity quotient (AQ) yang mengukur tingkat kecerdasan dan kekuatan daya tahan seseorang terhadap problem, tekanan, dan kerumitan serta hambatan.

Karena itu jangan heran jika platform-platform digital raksasa sering mengabaikan ijazah perguruan tinggi berbasis disiplin ilmu saat merekrut pegawainya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com