Mendengar pembantaian massal oleh VOC di Batavia, sebanyak 3.000 pasukan Tionghoa menyerbu benteng Belanda di Tangerang pada 11 Oktober 1740.
Pada saat bersamaan, sekitar 5.000 orang Tionghoa menyerbu pertahanan VOC di kawasan Jatinegara hingga banyak korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak.
Kapitan Sepanjang pun berusaha menuntut balas dengan menyerbu Batavia, tetapi kalah persenjataan dan perlengkapan.
Hingga November 1740, pertempuran kecil masih terjadi di sejumlah wilayah.
Sisa-sisa orang Tionghoa yang masih hidup kemudian menyelamatkan diri ke Kampung Melayu, Pulogadung, Tanjung Priok, dan Sukapura, untuk selanjutnya berkonsolidasi dengan pasukan pemberontak di daerah Bekasi dan Karawang.
Saat VOC mengirim pasukan di bawah komando Abraham Roos untuk mengejar, Kapitan Sepanjang dan pasukan Tionghoa akhirnya memilih menyingkir ke wilayah Kerajaan Mataram.
Pada akhir 1740, para pelarian ini tiba di Lasem, Rembang, dan ditolong oleh priyayi setempat.
Wilayah Lasem sendiri telah menjadi hunian masyarakat Tionghoa sejak jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Geger Pacinan mengakibatkan efek domino dan menimbulkan goncangan konstelasi politik Jawa secara masif.
Sebab peristiwa di Batavia menjadi memicu meluasnya perlawanan etnis Tionghoa terhadap VOC di Semarang dan Rembang, atau disebut Perang Kuning, yang berlangsung hingga 1743.
Bagi Belanda, Geger Pacinan menyebabkan produksi gula di Batavia menurun drastis.
Sebab, banyak etnis Tionghoa yang dulunya bekerja sebagai buruh di industri tersebut menjadi korban.
Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada akhirnya diadili oleh Belanda setelah dilaporkan oleh Gustaaf Baron van Imhoff sebagai biang keributan peristiwa Geger Pacinan.
Selain itu, Valckenier juga dituduh melakukan serangkaian kesalahan yang membuat VOC mengalami kerugian.
Kendati demikian, rezim kolonial Belanda tetap meneruskan semangat anti-Tionghoa, dengan memisahkan mereka dari masyarakat pribumi Jawa.
Alhasil, lahirlah kebijakan kampung sentra etnis, di mana etnis Tionghoa diatur untuk tinggal di daerah tertentu, hingga muncul kampung pecinan dan kampung pekojan.
Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengendalikan aktivitas ekonomi etnis Tionghoa agar tidak dapat berkembang menandingi VOC.
Kebijakan pemerintah kolonial saat itu seolah menempatkan etnis Tionghoa sebagai pihak yang paling diintimidasi.
Oleh karena itu, Geger Pacinan dapat disebut sebagai akar kekerasan massal terhadap orang Tionghoa yang pada akhirnya terus menjadi isu sensitif dalam politik Indonesia hingga saat ini.
Referensi:
(Sumber: Kompas.com/Walda Marison, Rosy Dewi Arianti Saptoyo, Widya Lestari Ningsih | Editor: Egidius Patnistik, Bayu Galih, Nibras Nada Nailufar)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.