Bahkan di Pasal 33 ayat (2) peraturan tersebut, kompleks olahraga dan stadion olahraga wajib menggunakan nama dengan Bahasa Indonesia. Kenapa JIS tidak diberi nama saja Stadion Husni Thamrin atau Stadion Ali Sadikin?
Kita begitu “abai” dengan jasa dan pengorbanan para anak bangsa yang jelas-jelas memberikan kontribusi yang besar bagi kemanusian. Sementara urusan penamaan selalu tersandera dengan urusan “legacy” dan kepentingan elektoral jelang pemilihan umum.
Justru yang lebih diprioritaskan adalah mengganti nama “rumah sakit” menjadi “rumah sehat” Padahal jelas-jelas pasien datang ke rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit. Masyarakat hanya diajak “terpukau” dengan permainan “kata” bukan persoalan substantif di Ibukota mengenai banjir dan kemacetan yang harus dituntaskan di masa akhir jabatan sang kepala daerah.
Baca juga: Duduk Perkara JIS Disebut PSSI Tak Layak dan Bantahan Jakpro
Dari Jakarta kita beralih ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Di saat warganya yang tersebar di 17 kabupaten dan kota masih mengalami kendala rusaknya infrastruktur yang parah dan tingkat kemiskinan yang besar, justru Gubernur Ali Mazi masih disibukkan dengan urusan pembangunan gedung pemerintah provinsi setinggi 22 lantai.
Dengan menelan biaya Rp 400 miliar di tengah kesulitan ekonomi warganya karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Ali Mazi merasa “cuek”. Untuk wilayah Kendari, pembangunan gedung tapak sangat memungkinkan ketimbang harus dipaksakan membangun gedung bertingkat tinggi.
Tidak pernah mau memikirkan keberlangsungan gedung jika sang kepala daerah telah pensiun. Berapa biaya perawatan dan pemeliharaan sementara penggunaaan gedung perkantoran yang lama masih belum maksimal.
Tidak hanya gedung, Patung Oputa Yi Koo setinggi 23 meter juga akan dibangun di bibir pantai Kotamara, Baubau, dengan anggaran sebanyak Rp 17 miliar. Oputa Yi Koo sendiri adalah Sultan Buton ke-23 yang pada tahun 1760 – 1763 berjuang melawan kolonial Belanda.
Jasa dan perjuangan para pahlawan nasional memang tidak boleh kita lupakan. Andaikan Oputa Yi Koo masih hidup, tentu jiwa kepahlawanannya akan tergerak untuk melawan “kemiskinan”.
Mungkin dirinya tidak setuju sosoknya dipatungkan sementara rakyatnya bergulat dalam kubangan kemiskinan. Pasca pandemi Covid-19, ekonomi warga mulai bangkit kembali tetapi dengan kenaikan harga BBM mau tidak mau kehidupan perekonomian warga kembali tersendat.
Belum cukup dengan “mainan” gedung dan patung serta proyek jalan Kendari – Toronipa yang menelan biaya fantastis, sang gubernur Sulawesi Tenggara juga berniat “membeli” pesawat untuk menghidupkan rute Kendari – Wakatobi.
Wings Air yang selama ini menerbangi jalur Kendari – Wakatobi untuk sementara memang berhenti operasionalnya (TribunnewsSultra.com, 14 September 2022). Ali Mazi rupanya kurang “gaul” karena pembelian dan pengoperasian pesawat oleh pemerintah daerah di sejumlah daerah mengalami kegagalan.
Selain berharga mahal, sumberdaya manusia untuk menjalankan airlines juga butuh perhitungan. Belum lagi biaya perawatan dan jumlah pesawat yang dibutuhkan untuk menjalankan airlines, tidak semudah yang dibayangkan gubernur sekalipun.
Seorang sahabat yang menjadi praktisi usaha penerbangan pernah menyebut, untuk tingkat keekonomisan pengoperasioan sebuah airlines dibutuhkan minimal 3 hingga 5 pesawat agar tercapai tingkat keuntungan yang minimal.
Pemerintahan Aceh dengan Seulawah Air dan Riau dengan Riau Airlines-nya kini tinggal kenangan. Baik Aceh maupun Riau, memiliki pendapatan asli daerah yang lebih besar daripada Sulawesi Tenggara dan mereka pun “kelimpungan” menjalankan airlines.
Alasan Wings Air berhenti melayani jalur Kendari – Wakatobi pun mudah ditebak karena hitung-hitungan ekonominya yang tidak “masuk” dan akan sangat janggal jika pemerintah daerah memaksakan akan membeli pesawat.