Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Pemimpin Bukan Pemimpi, Itu yang Kita Butuhkan

Kompas.com - 15/09/2022, 15:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NASIB rakyat tergantung dari aturan dan tindakan pemerintah yang bersandar atas keinginan dan perasaan rakyat” – Mohammad Husni Thamrin (1894 – 1941).

Intisari pendapat politisi Indonesia di awal abad 20 itu bukan sekedar kalimat mutiara tidak bermakna. Thamrin adalah tokoh Betawi yang memiliki darah Belanda dari kakeknya, sedangkan ayahnya seorang wedana – jabatan di bawah Bupati – di tahun 1908.

Usai menuntaskan pendidikannya di sekolah Belanda Koning Willem II, Thamrin bekerja di pemerintahan sebelum akhirnya berkarir di perusahaan perkapalan Koniklijke Paketvaart-Maatschappij tahun 1927.

Thamrin didapuk menjadi anggota Dewan Kota Jakarta di tahun 1919, kemudian tahun 1935 dipercaya menjadi anggota Volksraad - semacam dewan rakyat - mewakili kelompok pribumi atau inlander disebutnya.

Baca juga: JJ Rizal Bakal Sebar Luaskan Soal Kepantasan Nama MH Thamrin Jadi Pengganti JIS

Melalui mosinya di tahun 1939, Thamrin meminta pemakaian kata Indonesia, Indonesisch, danIndonesier (Indonesia, Bahasa Indonesia, dan Rakyat Indonesia) sebagai pengganti Nederlands Indie, Nederlands Indische dan Inlander. Sebuah tuntutan yang membuat telinga kaum kolonial “memerah”.

Berasal dari keluarga mapan dengan memiliki keturuna Belanda, tidak membuat Husni Thamrin keder membela rakyat Indonesia. Di Volksraad sering kali Husni Thamrin menentang kebijakan-kebijakan penjajah yang tidak berpihak pada Indonesia dan hanya menguntungkan Belanda seperti pembangunan perumahan elite di Menteng dengan anggaran prioritas ketimbang perbaikan perkampungan kumuh.

Husni Thamrin juga menggugat penetapan harga beli komoditas hasil rakyat yang lebih rendah daripada hasil perkebunan swasta Belanda, serta pajak dan anggaran untuk angkatan perang yang jauh lebih tinggi daripada anggaran untuk pertanian.

Husni Thamrin yang bersahabat dengan Soekarno itu juga aktif di organisasi Partai Indonesia Raya (Parindra) sejak bergabung tahun 1935, bahkan di tahun 1938 terpilih sebagai ketua.

Husni Thamrin merupakan salah satu pelopor berleburnya empat organisasi nasional dalam Gaboengan Politiek Indonesia (GAPI) di bulan Mei 1939. GAPI memiliki empat tujuan utama yakni Indonesia menentukan nasib sendiri, persatuan nasional, pemilihan secara demokrasi, dan solidaritas antara warga Indonesia dan Belanda untuk memerangi fasisme.

Pada 6 Januari 1941 atas tuduhan berkolaborasi dengan Jepang, Husni Thamrin dikenakan tahanan rumah dan tidak boleh mendapat kunjungan dari siapapun. Lima hari kemudian, atau tanggal 11 Januari 1941 Husni Thamrin wafat dan dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta.

Kisah perjuangan Husni Thamrin di atas jelas bukan “kaleng-kaleng” karena dilakukan di saat kuatnya kekuasaan penjajahan Belanda bercokol. Hanya sayangnya, sejarah bangsa yang begitu agung kerap dan bahkan tidak dijadikan rujukan oleh para para pemimpin kita.

Wali Kota Depok Mohammad Idris.ANTARA/Feru Lantara Wali Kota Depok Mohammad Idris.
Dari pemaksaan lagu, nama stadion, mengubah nama hingga bangun gedung

Harmoni wargaku, indahnya rumahku

Asri lingkunganku, damai kotaku

Cahaya keluhuran kota, pedoman paricara

Dharma memancarkan semangat raga, menebar cinta kasih sesama,

Depokku idaman penuh asa

Sebagian penggalan himne “Damai Depokku” yang liriknya ditulis Walikota Depok Mohammad Idris, bersama mars “Depok Sejahtera” yang juga ditulis oleh sang walikota, kini menjadi “lagu wajib” untuk warga Depok, Jawa Barat.

Baca juga: Begini Lirik Mars dan Himne Depok yang Ditulis Wali Kota Idris, Harus Dinyanyikan di Acara Tertentu

Lewat keputusan resmi sang walikota, Idris memerintahkan seluruh perangkat daerah dan masyarakat wajib menyanyikan kedua lagu ciptaannya ini dalam acara-acara tertentu di Kota Depok. Melalui Surat Edaran Walikota Nomor 431/336-Huk/Prokopim tentang Pemakaian Mars Depok Sejahtera dan Himne Damai Depokku.

Walikota Idris menginstruksikan agar kedua lagu tersebut dinyanyikan usai dikumandangkan lagu Indonesia Raya (Kompas.com, 09/09/2022).

Saya dan beberapa dosen Universitas Indonesia (UI), termasuk warga-warga yang lain, yang kebetulan menjadi warga Kota Depok merasa keberatan dengan instruksi itu. Kalau lagu Indonesia Raya memang harus dinyanyikan dan kami tidak keberatan karena menjadi penyemangat sejak dulu.

Sejak berwujud kota administratif hingga sekarang ini saya mukim, perkembangan Depok adalah adalah wujud dari amburadulnya tata kelola wilayah. Berkuliah di Kampus UI Depok sejak kampus itu diresmikan Presiden Soeharto di tahun 1987, Depok berkembang dengan “sendirinya”.

Pihak pengembang “mengembangkan” wilayah pemukimannya sendiri-sendiri. Kini hutan beton mengukung Jalan Margonda dan kami yang tinggal di perbatasan dengan Bekasi, Bogor dan DKI Jakarta menjadi daerah yang berkembang “semaunya”.

Menyanyikan lirik ini seperti mentertawakan kondisi Depok yang tidak sesuai dengan isi lirik himne maupun mars. Harusnya sang walikota tidak meninggalkan legacy kepemimpinan dari mars dan himne yang dikarangnya.

Sebaiknya kepala daerah meninggalkan warisan kepemimpinan yang adil terhadap semua kalangan, memperhatikan kondisi daerahnya walau terjepit dengan wilayah administratif lain. Harus berdaya menghadapi developer dan tidak tunduk dengan investor.

Gubernur Sultra Ali Mazi saat melantik Muhammad Yusuf sebagai Penjabat Bupati Buton Tengah di rumah jabatan Gubernur pada Senin (23/5/2022). (Foto Dokumentasi Diskominfo Sultra)KOMPAS.COM/KIKI ANDI PATI Gubernur Sultra Ali Mazi saat melantik Muhammad Yusuf sebagai Penjabat Bupati Buton Tengah di rumah jabatan Gubernur pada Senin (23/5/2022). (Foto Dokumentasi Diskominfo Sultra)
Dari Depok kita berpindah ke Papua, tengoklah stadion Papua Bangkit yang telah bersalin nama menjadi Lukas Enembe. Stadion yang berdiri megah di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura membuat kunjungan saya di tahun 2018 silam menjadi kenangan yang membanggakan.

Papua punya stadion megah, yang tidak hanya saya saksikan di Pulau Jawa saja. Lukas Enembe disandangkan menjadi nama stadion tersebut sebagai penghargaan atas kepemimpinannya sebagai gubernur Papua pertama yang berhasil menghelat pesta Pekan Olahraga Nasional untuk pertama kalinya di Bumi Cenderawasih. PON XX digelar di Jayapura, Papua pada 2 – 15 Oktober 2021.

Kini Lukas Enembe menjadi tersangka dugaan kasus korupsi, yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diblokir sejumlah rekening bank-nya dan dicekal kepergiannya ke luar negeri oleh Ditjen Imigrasi.

Baca juga: Jadi Tersangka KPK, Berikut Profil Gubernur Papua Lukas Enembe

Rekening jumbo milik Lukas Enembe yang mencapai Rp 61 miliar itu, ditengarai KPK terkait dengan hasil suap dan korupsi (Tempo.co, 15 September 2022).

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didampingi istrinya saat Hari Raya Idul Adha di Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara, Minggu (10/7/2022).KOMPAS.com/NIRMALA MAULANA ACHMAD Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan didampingi istrinya saat Hari Raya Idul Adha di Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara, Minggu (10/7/2022).
Dari Jayapura, kita kembali ke Jakarta. Di saat jasa dan pengorbanan Mohammad Husni Thamrin atau Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang begitu peduli dengan rakyat miskin justru ke dua nama tokoh itu “kurang” dihargai di Jakarta.

Nama stadion megah yang berdiri di Tanjung Priok tetap bernama “Jakarta International Stadium atau JIS”. Padahal sesuai Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, tidak boleh ada penamaan tempat dan bangunan yang dibuat di wilayah hukum Indonesia selain menggunakan Bahasa Indonesia.

Bahkan di Pasal 33 ayat (2) peraturan tersebut, kompleks olahraga dan stadion olahraga wajib menggunakan nama dengan Bahasa Indonesia. Kenapa JIS tidak diberi nama saja Stadion Husni Thamrin atau Stadion Ali Sadikin?

Kita begitu “abai” dengan jasa dan pengorbanan para anak bangsa yang jelas-jelas memberikan kontribusi yang besar bagi kemanusian. Sementara urusan penamaan selalu tersandera dengan urusan “legacy” dan kepentingan elektoral jelang pemilihan umum.

Justru yang lebih diprioritaskan adalah mengganti nama “rumah sakit” menjadi “rumah sehat” Padahal jelas-jelas pasien datang ke rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit. Masyarakat hanya diajak “terpukau” dengan permainan “kata” bukan persoalan substantif di Ibukota mengenai banjir dan kemacetan yang harus dituntaskan di masa akhir jabatan sang kepala daerah.

Baca juga: Duduk Perkara JIS Disebut PSSI Tak Layak dan Bantahan Jakpro

Dari Jakarta kita beralih ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Di saat warganya yang tersebar di 17 kabupaten dan kota masih mengalami kendala rusaknya infrastruktur yang parah dan tingkat kemiskinan yang besar, justru Gubernur Ali Mazi masih disibukkan dengan urusan pembangunan gedung pemerintah provinsi setinggi 22 lantai.

Dengan menelan biaya Rp 400 miliar di tengah kesulitan ekonomi warganya karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Ali Mazi merasa “cuek”. Untuk wilayah Kendari, pembangunan gedung tapak sangat memungkinkan ketimbang harus dipaksakan membangun gedung bertingkat tinggi.

Tidak pernah mau memikirkan keberlangsungan gedung jika sang kepala daerah telah pensiun. Berapa biaya perawatan dan pemeliharaan sementara penggunaaan gedung perkantoran yang lama masih belum maksimal.

Tidak hanya gedung, Patung Oputa Yi Koo setinggi 23 meter juga akan dibangun di bibir pantai Kotamara, Baubau, dengan anggaran sebanyak Rp 17 miliar. Oputa Yi Koo sendiri adalah Sultan Buton ke-23 yang pada tahun 1760 – 1763 berjuang melawan kolonial Belanda.

Jasa dan perjuangan para pahlawan nasional memang tidak boleh kita lupakan. Andaikan Oputa Yi Koo masih hidup, tentu jiwa kepahlawanannya akan tergerak untuk melawan “kemiskinan”.

Mungkin dirinya tidak setuju sosoknya dipatungkan sementara rakyatnya bergulat dalam kubangan kemiskinan. Pasca pandemi Covid-19, ekonomi warga mulai bangkit kembali tetapi dengan kenaikan harga BBM mau tidak mau kehidupan perekonomian warga kembali tersendat.

Belum cukup dengan “mainan” gedung dan patung serta proyek jalan Kendari – Toronipa yang menelan biaya fantastis, sang gubernur Sulawesi Tenggara juga berniat “membeli” pesawat untuk menghidupkan rute Kendari – Wakatobi.

Wings Air yang selama ini menerbangi jalur Kendari – Wakatobi untuk sementara memang berhenti operasionalnya (TribunnewsSultra.com, 14 September 2022). Ali Mazi rupanya kurang “gaul” karena pembelian dan pengoperasian pesawat oleh pemerintah daerah di sejumlah daerah mengalami kegagalan.

Selain berharga mahal, sumberdaya manusia untuk menjalankan airlines juga butuh perhitungan. Belum lagi biaya perawatan dan jumlah pesawat yang dibutuhkan untuk menjalankan airlines, tidak semudah yang dibayangkan gubernur sekalipun.

Seorang sahabat yang menjadi praktisi usaha penerbangan pernah menyebut, untuk tingkat keekonomisan pengoperasioan sebuah airlines dibutuhkan minimal 3 hingga 5 pesawat agar tercapai tingkat keuntungan yang minimal.

Pemerintahan Aceh dengan Seulawah Air dan Riau dengan Riau Airlines-nya kini tinggal kenangan. Baik Aceh maupun Riau, memiliki pendapatan asli daerah yang lebih besar daripada Sulawesi Tenggara dan mereka pun “kelimpungan” menjalankan airlines.

Alasan Wings Air berhenti melayani jalur Kendari – Wakatobi pun mudah ditebak karena hitung-hitungan ekonominya yang tidak “masuk” dan akan sangat janggal jika pemerintah daerah memaksakan akan membeli pesawat.

Kita membutuhkan pemimpin yang berjiwa kerakyatan, berkarakter kuat, cerdas, berdisplin, tegas, terbuka serta jujur. Semua kriteria tersebut adalah impian semua rakyat.

Keutamaan seorang pemimpin ialah mampu mendengarkan suara rakyat di jalan senyap dan lorong kesunyian sekalipun. Bukan pemimpin yang begitu “getol” dengan sorakan dan sambutan yang direkayasa.

Sudah sepatutnya seorang pemimpin mempunyai pendengaran yang peka terhadap tangis, rintihan, keluhan bahkan kritikan rakyatnya. Pemimpin yang hanya mau mendengar suara merdu, laporan asal senang dan puja-puji adalah bukan pemimpin tetapi penghibur.

Kepekaaan pemimpin itu mencerminkan sebuah kesadaran bahwa kekuasaannya akan ada akhirnya, berbatas dan tidak bisa selamanya. Kekuasaan adalah amanah yang harus ditunaikan, sejatinya untuk rakyat yang dipimpinnya.

Jelang berakhirnya masa jabatan beberapa kepala daerah, tendensi memaksakan meninggalkan “legacy” yang “abal-abal” serta menggenjot pelaksanaan proyek-proyek “mercusuar” kerap menjadi pilihan pemimpi(n).

Apakah kita memiliki pemimpin seperti itu ? Wallahualam Bissawab, hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com