Gupung adalah tempat makam leluhur. Tanah pemali. Tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang ataupun berkebun. Bagi siapa saja yang berladang berdekatan atau bersebelahan dengan gupung selalu diperingatkan, terutama ketika membakar ladang, supaya berhati-hati. Jangan sampai api menjalar ke dalam gupung.
Bila gupung sampai termakan api, ritual adat pati wajib hukumnya untuk dilakukan. Melalui ritual adat ini, masyarakat mau memohon ampun karena telah merusak kediaman leluhur mereka. Sembari juga memohon agar hal-hal buruk jangan sampai menimpa keluarga yang empunya ladang. Juga warga kampung lainnya.
Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan tempat di mana para leluhur bersemayam, tentu saja telah mengganggu, jika tidak merusak, keharmonisan dengan para leluhur.
Relasi harmonis yang sudah terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam berladang selalu direstui dan diberkati oleh para leluhur.
Proses perladangan masyarakat Dayak memang kaya dengan ritual adat. Mulai dari saat memilih dan menentukan lokasi sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (gawai). Ritus-ritus adat itu dilakukan dengan tujuan untuk mengucap puji dan syukur kepada Yang Mahakuasa karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk hidup dan mencari nafkah; memohon ijin kepada Sang Penguasa Tanah bahwa mereka akan berladang di lokasi tersebut; memohon berkat dan perlindungan atas segala jerih payah dalam berladang.
Di atas segalanya, agar keharmonisan dengan Yang Maha Tinggi, sesama, leluhur dan alam selalu terjaga dan terpelihara.
Semua yang telah dipaparkan di atas sesungguhnya mau menunjukkan bahwa aktivitas berladang, yang bagi sebagian orang tidak lebih dari sekedar aktivitas merusak hutan sehingga layak untuk dihentikan, justru menjadi jalan bagi manusia Dayak dalam memaknai hidup. Hidup seperti apa? Hidup yang selaras dan harmoni dengan Tuhan, sesama, leluhur serta alam.
Saya sendiri sungguh merasa kagum dengan bagaimana orang Dayak memperlakukan alam dengan penuh hormat dan beradat, bagaimana mereka saat bekerja di ladang menunjukkan kasih dan solidaritas terhadap satu sama lain dengan saling menolong.
Bila begitu bijaksana, hormat, dan beradatnya masyarakat Dayak memperlakukan alam, pantaskah mereka dicap sebagai perusak hutan, sementara dalam prakteknya ada sepuluh tahapan berladang yang mesti mereka kerjakan? Layakkah mereka dikambinghitamkan, ditangkap, diadili, dijebloskan ke penjara atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.