Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memaknai Hidup Bersama Peladang Dayak

Terbitlah kemudian Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Sebagai anak peladang Dayak, saya merasa sedih membaca laporan tersebut. Apa yang disajikan Kompas, di mata saya, lebih sebagai sebuah ratapan dari anak manusia yang tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga kehilangan jati dirinya sebagai manusia, manusia Dayak.

Dikatakan kehilangan jati diri karena lewat berladang manusia Dayak mengekspresikan hakikat dirinya sebagai makhluk religius dan makhluk sosial. Kompas sudah sangat tepat ketika mengatakan bahwa jika tradisi berladang berakhir, hilang pula identitas budaya orang Dayak.

Memang akan hilang karena dengan tidak lagi berladang, masyarakat Dayak tidak lagi bisa merayakan gawai, pesta syukur atas hasil panen. Dengan hilangnya adat gawai, sangat sukar rasanya membayangkan bagaimana manusia Dayak menjalani dan menghayati hidup mereka.

Lewat tradisi syukuran itulah masyarakat Dayak mengekspresikan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang tahu bersyukur dan berterima kasih untuk pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya.

Lewat tradisi syukuran itu pula masyarakat Dayak meneguhkan kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang menjadi sumber kekuatan dalam menjalani hidup berkomunitas.

Tradisi itu menjadi ekspresi manusia Dayak sebagai makhluk religius dan makhluk sosial. Tradisi gawai  juga mau menegaskan satu hal penting yakni bahwa bukan motif ekonomilah yang pertama dan utama mendorong orang Dayak berladang.

Keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidaklah kemudian dibayangkan akan mendapat uang yang banyak pula. Karena hasil panen yang diperoleh akan disimpan di lumbung padi sebagai bekal untuk hari-hari mendatang. Bukan untuk diperjualbelikan di pasar.

Makan tentu saja merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup. Begitu pula bagi masyarakat Dayak. Dengan berladang, mereka juga ingin agar kebutuhan tersebut selalu terpenuhi.

Namun, betapa pun makan penting bagi hidup mereka, tetapi hal itu tidak membuat para peladang menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

Ada aturan-aturan adat yang mesti mereka taati. Ada kepercayaan-kepercayaan tradisional, yang mungkin di mata orang modern tampak irasional, yang wajib mereka indahkan bila hidup mereka ingin selamat dan jerih payah dalam berladang bisa menghasilkan buah yang baik.

Salah satu kepercayaan itu hadir dalam bentuk pengindahan mimpi dan tanda-tanda alam dalam rupa suara burung. Baik mimpi maupun suara burung, dalam beberapa suku Dayak, diyakini sebagai sarana yang dipakai leluhur untuk menyampaikan pesan-pesan penting yang berkaitan dengan kebaikan dan keselamatan hidup perorangan maupun seluruh anggota komunitas adat.

Menyatu dengan sesama, leluhur, dan alam

Bagi masyarakat Dayak, berladang bukan melulu berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Berladang selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.

Karena berkaitan langsung dengan kebaikan dan keselamatan hidup, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh leluhur sama sekali tak boleh diabaikan. Dalam kalangan kami suku Dayak Desa, dan saya kira juga dalam masyarakat Dayak pada umumnya, kemarahan leluhur menjadi satu hal yang sangat menakutkan.

Oleh karena itulah, baik dalam hidup dan pergaulan sehari-hari, pun dalam berladang, masyarakat selalu berupaya hidup harmonis dengan leluhur. Ritual adat pati gupung dalam masyarakat suku Dayak Desa kiranya bisa menjadi contoh untuk menerangkannya.

Gupung adalah tempat makam leluhur. Tanah pemali. Tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang ataupun berkebun. Bagi siapa saja yang berladang berdekatan atau bersebelahan dengan gupung selalu diperingatkan, terutama ketika membakar ladang, supaya berhati-hati. Jangan sampai api menjalar ke dalam gupung.

Bila gupung sampai termakan api, ritual adat pati wajib hukumnya untuk dilakukan. Melalui ritual adat ini, masyarakat mau memohon ampun karena telah merusak kediaman leluhur mereka. Sembari juga memohon agar hal-hal buruk jangan sampai menimpa keluarga yang empunya ladang. Juga warga kampung lainnya.

Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan tempat di mana para leluhur bersemayam, tentu saja telah mengganggu, jika tidak merusak, keharmonisan dengan para leluhur.

Relasi harmonis yang sudah terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam berladang selalu direstui dan diberkati oleh para leluhur.

Proses perladangan masyarakat Dayak memang kaya dengan ritual adat. Mulai dari saat memilih dan menentukan lokasi sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (gawai). Ritus-ritus adat itu dilakukan dengan tujuan untuk mengucap puji dan syukur kepada Yang Mahakuasa karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk hidup dan mencari nafkah; memohon ijin kepada Sang Penguasa Tanah bahwa mereka akan berladang di lokasi tersebut; memohon berkat dan perlindungan atas segala jerih payah dalam berladang.

Di atas segalanya, agar keharmonisan dengan Yang Maha Tinggi, sesama, leluhur dan alam selalu terjaga dan terpelihara.

Semua yang telah dipaparkan di atas sesungguhnya mau menunjukkan bahwa aktivitas berladang, yang bagi sebagian orang tidak lebih dari sekedar aktivitas merusak hutan sehingga layak untuk dihentikan, justru menjadi jalan bagi manusia Dayak dalam memaknai hidup. Hidup seperti apa? Hidup yang selaras dan harmoni dengan Tuhan, sesama, leluhur serta alam.

Saya sendiri sungguh merasa kagum dengan bagaimana orang Dayak memperlakukan alam dengan penuh hormat dan beradat, bagaimana mereka saat bekerja di ladang menunjukkan kasih dan solidaritas terhadap satu sama lain dengan saling menolong.

Bila begitu bijaksana, hormat, dan beradatnya masyarakat Dayak memperlakukan alam, pantaskah mereka dicap sebagai perusak hutan, sementara dalam prakteknya ada sepuluh tahapan berladang yang mesti mereka kerjakan? Layakkah mereka dikambinghitamkan, ditangkap, diadili, dijebloskan ke penjara atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan?

https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/03/101355965/memaknai-hidup-bersama-peladang-dayak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke