Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Urgensi Pemikiran Yudian Wahyudi tentang Keselarasan Pancasila dan Syariah Islam

Kompas.com - 28/07/2022, 11:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEPALA Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof KH Yudian Wahyudi, PhD memiliki pemikiran keislaman dan Pancasila yang urgen bagi penguatan ideologi negara. Pemikiran Yudian berhasil meleraikan ketegangan antara syariah Islam dengan Pancasila. Sebuah ketegangan yang masih terjadi secara laten, meskipun finalitas Pancasila sebagai dasar negara tidak tergoyahkan.

Berbeda dengan para pemikir Islam dan Pancasila kawakan, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau Prof Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang bersifat generalis, pemikiran Yudian tentang Islam dan Pancasila lebih bersifat teknis. Hal ini disebabkan pendekatannya yang bersifat metodologis, melalui filsafat hukum Islam (ushul fiqh) dengan gagasan utama, yakni tujuan utama syariah (maqashid al-syari’ah).

Baca juga: Apa Fungsi Pancasila bagi Bangsa Indonesia?

Tulisan ini merupakan rangkuman inti dari buku karya penulis sendiri, yakni Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof KH Yudian Wahyudi, PhD yang terbit pada Agustus 2022. Buku ini merupakan kajian terhadap pemikiran keislaman dan Pancasila dari Yudian, terutama berdasarkan pada paparan Yudian tentang Pancasila sebagai Kalimatun Sawa’ di Harvard University tahun 2003.

Ketegangan historis

Letak urgensi pemikiran Yudian Wahyudi adalah pada kemampuannya untuk meleraikan ketegangan antara Islam dan Pancasila yang bersifat historis. Historisitas yang dimaksud adalah ketidakpuasan sebagian tokoh Islam atas rumusan Pancasila resmi, akibat dihapusnya sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dari Pancasila.

Hal ini mengemuka, terutama di sidang Konstituante tahun 1956-1959. Para tokoh Islam bergabung dalam “faksi Islam”, mengusulkan Islam sebagai dasar negara, sebagai alternatif bagi Pancasila. Dalam rangka pengajuan Islam ini, para tokoh tersebut menafikan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat sekular.

Misalnya, pimpinan Masyumi, Mohammad Natsir menyebut Pancasila sebagai ideologi sekular (la diniyyah), karena tidak bersumber dari wahyu. Hal ini membuat nilai-nilai Pancasila tidak memiliki kepastian konseptual, sehingga bisa ditafsiri oleh perspektif apapun. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, menurut Natsir, bukan cerminan dari doktrin Islam, karena sumber dari Pancasila bukan Al Quran.

Natsir lalu menyitir penjelasan Soekarno tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Kursus Pancasila pada 26 Mei 1958 yang bersifat antropologis, bukan teologis. Artinya, Soekarno menjelaskan sila ketuhanan Pancasila sebagai cerminan dari tradisi ketuhanan bangsa Indonesia yang menjulur panjang, bahkan hingga ke pra-Hindu-Buddha. Menurut Natsir, ini menandakan bahwa ketuhanan di dalam Pancasila, bukan bagian dari tradisi Islam, tetapi tradisi semua agama, termasuk agama non-monoteis. (Natsir, 2001: 23)

Ketidakpuasan juga dialami para tokoh Islam perumus Piagam Jakarta. Kahar Muzakkir, mantan anggota Panitia Sembilan, yang berpidato di Konstituante menyayangkan penghapusan “tujuh kata” Piagam Jakarta, dan menyatakan bahwa Pancasila telah dikebiri (Natsir, 2001: 95). Artinya, menurut Mudzakkir, semestinya, rumusan Pancasila mengacu pada rumusan Piagam Jakarta dengan sila “ketuhanan bersyariah”. Rumusan ini adalah kesepakatan luhur antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan, demi tercapainya konsensus nasional. Akan tetapi, menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, “tujuh kata” dihapus, sehingga rumusan Pancasila pun dikebiri.

Baca juga: Muhammad Yamin dan Soepomo Tidak Mengusulkan Rumusan Pancasila!

Ketidakpuasan juga dilayangkan oleh penghapus “tujuh kata” itu sendiri, yakni Mr. Kasman Singodimedjo yang berpidato dalam Konstituante tersebut (Natsir, 2001: 234). Pada 18 Agustus 1945 pagi hari, Mr. Kasman, bersama dengan Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Muhammad Hasan terlibat rapat dengan Bung Hatta untuk menghapus “tujuh kata” tersebut. Di Konstituante, Mr. Kasman menyesali hal itu, sehingga menarik dukungan terhadap Pancasila dan menawarkan Islam sebagai penggantinya.

Menjaga syariah

Berbeda dengan ketidakpuasan kelompok Islam dalam Konstituante, Yudian menegaskan bahwa penghapusan “tujuh kata”, tidak berarti penghapusan syariah dari Pancasila. Dalam paparan Islam dan Nasionalisme: Sebuah Pendekatan Maqashid Syariah (2019: 35), Yudian menemukan penggunaan kaidah fikih dalam proses penghapusan “tujuh kata” tersebut. Penggunaan kaidah fikih ini digunakan oleh Kiai Wahid Hasyim yang merupakan tokoh NU dan akrab dengan metode fikih.

Menurut Yudian, penghapusan “tujuh kata” yang merupakan prinsip ketuhanan bersyariah Islam tidak otomatis menghapus syariah Islam dari Pancasila. Mengapa? Karena Kiai Wahid menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggalkan semua).

Artinya, ketika syariah Islam tidak bisa ditegakkan di dalam dasar negara, maka nilai-nilai Islam tidak boleh terhapus sama sekali dari dasar negara. Menurut Yudian, yang terjadi justru sebaliknya: syariah telah diganti dengan prinsip tauhid yang tercermin dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tauhid yang merupakan akidah, ialah sumber dari syariah. Dengan demikian, meskipun redaksi syariah telah dihapus dari Pancasila, namun substansi syariah tetap dijaga oleh akidah tauhid di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembacaan Yudian ini selaras dengan keputusan NU di era Konstituante tersebut. Meskipun pada awalnya para tokoh NU yang mewakili Partai NU mengusulkan Islam sebagai pengganti Pancasila. Akan tetapi, sikap ini kemudian direvisi oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengusulkan jalan tengah dalam bentuk rumusan “Pancasila-Islam”. Sebuah rumusan yang mengajukan Pancasila dengan penempatan Piagam Jakarta sebagai “dokumen historis” (bukan dokumen yuridis) yang menjiwai dasar negara nasional tersebut.

Rumusan jalan tengah ini lalu diusulkan oleh Kiai Wahab Hasbullah dalam sidang Konstituante 1959, dan disetujui oleh faksi Islam. Rumusan PBNU ini pula yang diterima oleh Presiden Soekarno sehingga menerbitkan Dekrit Presiden No. 150 tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut ialah instruksi kembali pada UUD 1945 dan Pancasila, dengan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis yang menjiwai UUD dan Pancasila.

Dekrit Presiden 1959 yang terinspirasi dari rumusan “Pancasila-Islam” ala PBNU ini selaras dengan analisa Yudian, bahwa di dalam Pancasila, syariah Islam tetap terjaga. Hal ini disebabkan oleh penegasan Piagam Jakarta sebagai nilai yang menjiwai Pancasila. Inilah yang membuat Indonesia sebenarnya merupakan negara nasional bersyariah Islam, tentu bagi umat Islam. Hal ini membuat segenap upaya untuk mengislamkan Indonesia, dalam bahasa fikih, bersifat “mengadakan sesuatu yang sudah ada” (tahsilul hasil). Artinya, Indonesia sudah Islami dan syar’i; mengapa harus diislamkan dan disyariahkan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

7 Pilihan Ikan Tinggi Fosfor, Sehatkan Tulang tapi Perlu Dibatasi Penderita Gangguan Ginjal

7 Pilihan Ikan Tinggi Fosfor, Sehatkan Tulang tapi Perlu Dibatasi Penderita Gangguan Ginjal

Tren
Film Vina dan Fenomena 'Crimetainment'

Film Vina dan Fenomena "Crimetainment"

Tren
5 Efek Samping Minum Kopi Susu Saat Perut Kosong di Pagi Hari

5 Efek Samping Minum Kopi Susu Saat Perut Kosong di Pagi Hari

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

Tren
Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Tren
Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Tren
5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

Tren
Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Tren
Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis 'How to Make Millions Before Grandma Dies'

Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis "How to Make Millions Before Grandma Dies"

Tren
Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Tren
Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

Tren
8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

Tren
3 Alasan Sudirman Said Maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, Siap Lawan Anies

3 Alasan Sudirman Said Maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, Siap Lawan Anies

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com